Setelah menghabiskan belasan jam-jam di udara, dan melewati beberapa zona waktu, aku akhirnya sampai di Bandara Internasional Soekarno Hatta sekitar pukul sebelas malam. Kedua orang tua, dan kakakku datang menjemput ke bandara. Aku bagaikan seorang pengembara yang baru kembali dari pertualangannya mencari kitab suci ke negeri nun jauh.
Di kamar yang sudah aku tinggalkan hampir satu tahun itu, aku harus berjuang mengatasi jet leg parah. Aku baru merasa mengantuk sekitar pukul lima dini hari waktu Jakarta. Di London saat itu pukul 10.00 malam, sama seperti waktu tidurku ketika berada di sana.
Belum lama rasanya aku terlelap, aku harus terbangun lagi oleh sayup-sayup suara bisikan seseorang di telingaku. Aku yang masih separuh tertidur, berusaha mengabaikan gangguan kecil itu. Aku memutar tubuh ke arah dinding, dan menyembunyikan separuh wajahku.
"Eh, Dil baru datang?" Ucap suara itu sedikit lebih keras, namun cukup membuatku langsung terbangun.
Aku melawan diriku, dan segera membuka mata. Tampak dalam balutan pakaian kasual, Bagas tersenyum lebar, tampak puas sudah berhasil mengelabuiku. Aku melihat ke sekeliling ruangan. Tak ada orang lain di sana, selain Bagas.
Rasanya aku ingin marah padanya, namun kerinduanku padanya cukup meredakan amarahku. Aku bangkit, lalu melempar gulingku ke arahnya. Dia berhasil menghindar. Aku segera memeluknya dengan erat. Betapa aku merindukan lelucon-lelucon garing dari sahabatku satu-satunya ini.
"Bagaimana cowok London?" Bisiknya.
"Enakkan cowok Indonesia." Jawabku sekenanya.
Setelah Bagas berangkat ke kantornya di salah satu perusahaan start-up itu, aku melanjutkan tidurku. Aku terbangun sekitar pukul dua belas tengah hari. Aku segera membersihkan diri. Satu jam lagi Fadil akan datang. Dia sengaja mengambil cuti hari ini.
***
Aku berdiri di depan cermin, lalu menyisir rambut yang sudah aku pangkas rapi di barbershop langgananku di London satu hari sebelum kembali ke Jakarta.
Suara sepeda motor terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di depan rumahku. Aku membuka sedikit gorden jendala kamar, dan mengintip ke luar. Aku segera bergerak ke luar rumah, setelah memastikan bahwa orang yang mengendarai sepeda motor itu benar pria yang sedang aku tunggu.
Fadil yang telah membuka helm full face-nya tersenyum padaku. Kali ini aku bisa melihat senyum itu secara langsung, tak lagi melalui layar ponsel. Senyum yang sama indahnya. Rasanya ingin segera berlari memeluk pria pemilik senyum itu, dan mengatakan bahwa betapa aku merindukannya. Seorang pedagang es podeng keliling lewat di depan rumahku, menyadarkanku bahwa aku sedang berada di sebuah wilayah di Indonesia. Tahan.
Aku sudah tersenyum sedari tadi, sejak mendengar sepeda motornya, sejak membuka gorden kamarku, sejak langkah-langkah yang aku buat untuk mendekat ke arahnya, sejak diyakinkan bahwa tidak ada lagi jarak antara kami kini. "Masuk." Ucapku riang. Bapak pedagang es podeng terus berjalan mendorong gerobaknya, seolah tidak menyadari keganjilan nada suaraku.
Aku membukakan pagar untuknya. Fadil segera membawa motornya masuk ke teras, lalu mengikutiku masuk ke dalam rumah.
Setelah menutup pintu, aku segera menjatuhkan diriku ke pelukannya. Kami sama-sama tidak bersuara. Aku membiarkan kulitku melepas rindu yang lama ia tanggung.
"Mau makan di mana?" Tanya Fadil setelah melepaskan tangannya dari punggungku.
"I miss you too." Ucapku.
Fadil tersenyum. Dia lalu membelai pipiku dengan jemarinya.
"Belum lapar?" Tanyanya.
"I miss you too." Ucapku lagi.
Fadil membawa jemarinya ke atas kepalaku, lalu mengusap-ngusap rambut yang sudah aku sisir rapi itu. "Iya." Ucapnya. "I miss you so much."
"I miss you too." Ucapku sambil kembali meraih tubuhnya untuk kupeluk.
Fadil menahan dekapanku dengan tangannya. Bibirnya kemudian mendekat ke arah bibirku.
Tidak ada yang lain yang aku lakukan selain menerima kecupan itu.
"Jadi belum mau makan?" Tanya Fadil.
Aku menggeleng.
Bibirnya kembali meraih bibirku. Tidak ada yang mengomando, kami sudah sama-sama bergerak ke kamarku dengan tangan yang tidak lepas memegang satu sama lain.
AC di kamarku yang sudah aku setel cukup dingin tidak cukup mampu untuk membuat kami tidak berkeringat. Jakarta benar-benar panas. Pria ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tommy & Fadil (Completed)
Любовные романы(Ceritanya Udah Tamat ya) Tommy menyimpan perasaan pada seorang teman prianya bernama Fadil. Perasaan itu sudah dia jaga sejak pertama kali bertemu di hari pertama ospek. Empat tahun masa kuliah nyatanya tidak pernah mendekatkan mereka. Hingga akhir...