BAB II. Pukulan Pertama

419 28 0
                                    

Terimakasih sudah membaca Bumandhala : Menjaga Bumi

Mulai part ini, jumlah kata akan diperbanyak.

Jadi... Tidak terkesan terlalu banyak partnya.


Dua minggu berlalu setelah kejadian di dusun Klayan. Khamsu yang sudah merasa sehat mulai menggarap lagi kebunnya yang sudah lama tak terurus. Badan mudah lelah yang ia alami menyebabkan kebun miliknya banyak ditumbuhi ilalang dan perdu. Walaupun terkadang ada warga yang sesekali membatu merapikan dan membesihkan.

Kebun miliknya cukup luas, mengitari samping kanan kiri dan belakang rumahnya yang sederhana. Bangunan yang terbuat dari bambu dan kayu beratap daun kelapa kering yang dianyam.

Seiring dengan membaiknya kondisi tubuh Khamsu, kebun sudah mulai tertata rapih, pohon singkong dan ubi menanti untuk ditanam.

Rumah dan kebun tersebut merupakan peninggalan orang tuanya yang telah meninggal dunia. Ayahnya yang bekerja sebagai prajurit kelas bawah dilingkungan kota, meninggal sepuluh tahun yang lalu saat bertugas. Sedangkan ibunya, meninggal lima tahun kemudian karena sakit mendadak. Sebagai anak tunggal yang sudah yatim piatu, bekerja keras demi kelangsungan hidupnya harus dilakukannya sendiri mulai dari remaja.

Hari sudah terik, Khamsu beristirahat dibagian depan rumahnya, merebahkan diri disebuah dipan.

Angin yang sepoi – sepoi ditambah lelah setelah bekerja membuatnya terkantuk dan tertidur. Dalam tidur, ia bermimpi dikejar – kejar gerombolan pocong yang ingin menagkapnya. Belasan pocong saling mendahului berlomba untuk menangkap Khamsu. Ketika para pocong sudah mengepungnya, tubuh Khamsu terasa berguncang. Guncangan makin hebat, dan ia pun terbangun. Ternyata mbok Siyem yang berusaha membangunkannya.

Rumah mbok Siyem tepat disebelah kiri rumah Khamsu, hanya dibatasi kebun. Sejak kedua orang tua Khamsu meninggal, mbok Siyem banyak membantu Khamsu terutama soal makan sehari – hari.

Khamsu pun langsung duduk selonjor. Napasnya terlihat ngosngosan.

"Mimpi apa kamu Kham?" Mbok Siyem terlihat kawatir.

"Aduh mbok.. serem. Mimpi dikejar pocong." Dengan masih ngos – ngosan. Bersamaan dengan itu Khamsu melihat sosok makhluk aneh berdiri dikebun pak Tamin. Kebun yang terletak depan rumah Khamsu diantara jalan dusun.

Makhluk aneh itu bertubuh kurus berkulit merah hanya memakai semacam kain yang dililit sebagai celana. Tingginya hampir setara atap rumah pak Tamin. Khamsu pun mengusap – usap matanya, apakah yang dilihatnya nyata atau tidak. Walau matanya sudah diusap, makhluk aneh itu masih saja terlihat. Pertanda yang dilihatnya adalah nyata.

"Wah itu apa ya?" Ia bertanya dalam hati. Kemudian sosok yang dilihatnya berjalan mendekati pohon nangka yang ada disampingnya, menembus masuk kedalam pohon nangka dan menghilang. Khamsu terkejut setengah mati, ia langsung bangkit dari duduknya untuk memastikan penglihatannya. Namun ia sudah tidak melihat yang dicarinya.

"Lihat apa si Kham?" Bu Siyem yang ada didekatnya ikut melihat kearah depan rumah Khamsu.

"Oh ndak bu, salah lihat."

* * *

Marati kembali memanggil rekan - rekannya untuk menghadap. Ia ingin membahas perkembangan pencarian keris pusaka yang telah menunjukkan tanda kemunculannya. Mereka berkumpul disebuah ruangan yang biasa digunakan untuk pertemuan.

Marati, Tansa dan Jabig sudah mengambil posisi duduk masing – masing. Kali ini makhluk hitam, Gallam, tidak terlihat diruangan tersebut.

"Kalian berdua, berikan laporan." Marati membuka pembicaraan.

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang