Peperangan dan Menuju Khayangan
Memasuki malam, peperangan di dataran luas Kureta dihentikan sementara sesuai perjanjian. Korban tewas di masing – masing pihak di angkut menggunakan gerobak untuk di pindahkan keluar wilayah dataran Kureta dan dibakar. Untuk prajurit yang terluka dibawa ke dalam bangunan darurat berdinding kain beratap daun kelapa jauh dari pusat peperangan untuk diobati. Sementara prajurit yang sehat, memanfaatkan malam untuk beristirahat.
"Satera, laporkan hasil peperangan hari ini." Eyang Badranaya memulai pembicaraan diantara para petinggi Sandya dan komandan prajurit kerajaan yang berkumpul duduk melingkar beralaskan kain tebal dalam kemah. Bangunan tersebut sengaja dibuat untuk mengatur strategi dan tempat istirahat para petinggi yang tidak ikut perang menunggu waktu maju kegaris depan.
"Hari ini kita unggul dalam peperangan Eyang. Hampir seribu pasukan musuh tewas dan terluka. Jauh dibandingkan korban dari pihak kita." Ujar Satera.
"Hmmm...." Eyang Badranaya mengangguk – anggukan kepala. "Tetap waspada, jangan lengah. Saya yakin besok akan lebih berat. Hari ini makhluk Tamisra belum turun kemedan perang. Saya minta para Regaran dan Mancaran untuk besiap dimedan perang untuk membantu prajurit terdepan."
"Siap!" Para petinggi Sandya dan komandan prajurit kerajaan menjawab serempak,
"Mohon maaf, hamba melapor." Seorang prajurit memasuki kemah dengan tergesa – gesa dan langsung berlutut menyembah hormat.
Komandan prajurit istana segera berdiri menghampiri parjurit yang baru masuk "Ada apa?"
"Maaf komandan Jatinaya, saya kira tuan dan semua yang ada disini untuk melihat apa yang terjadi di pihak musuh." Prajurit masih dalam posisi berlutut. Mendengar perkataan prajurit, semua yang berkumpul bergesa berdiri dan berjalan menuju luar kemah. Diluar kemah, prajurit penjaga lainnya menyambut para petinggi dan memberi hormat serta isyarat untuk mengikuti dirinya. Mereka berjalan menuju kesebuah panggung kayu setinggi dua kali orang dewasa. Eyang Badraniya, Satera dan Jatinaya naik keatas panggung berurutan melalui tangga. Pranala, pemimpin Talika, menyambut dan langsung mempersilahkan ketiga petinggi untuk memantau wilayah kemah pihak Tamisra. Panggung ini merupakan tempat untuk memantau jalannya peperangan sekaligus mengatur strategi sesuai keaadan yang terjadi di medan perang.
Kemah pihak Tamisra nampak terlihat tenang tanpa menunjukkan hal yang ganjil. Namun pandangan ketiga petinggi tersebut langsung tertuju pada sekitar kemah. Mereka melihat banyak sekali titik api yang bergerak mendekat kearah kemah. Jumlah yang berkali – kali lipat dari pasukan Sandya bergerak mengular dari sisi kanan dan kiri kemah musuh.
"Siapa mereka?" Eyang Badraniya bertanya kepada Pranala.
"Maaf eyang, kami gagal mengetahui pergerakan musuh. Mereka adalah kaum Tamisra dan sekutunya yang datang dari berbagai kerajaan manca." Jawab Pranala.
"Tamisra? Sebanyak itu? Bagaimana mungkin bisa tidak terlacak?" Eyang Badraniya kembali bertanya.
"Sekali lagi mohon maaf eyang, kami tidak memperkirakan masih banyak Tamisra lainnya yang terpencar di belahan bumi ini."
"Dewata yang agung, jika jumlah musuh begitu besar bagaimana kami akan menghadapinya." Eyang Badraniya berkata lirih, lalu ia membalikkan badan. Satera, Jatinaya dan Pranala segera berkumpul didepan eyang Badraniya. "Besok adalah hari yang sangat berat, sepertinya saya akan turun langsung ke medan perang." Eyang Badraniya berbicara sambil menatap ke arah tiga orang yang ada didepannya bergantian.
* * *
"Guru,mana bidadarinya, kenapa hanya nenek – nenek yang terlihat?" Khamsu berbisik kearah Dalik. Mereka sudah duduk di kursi kayu masing – masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)
FantasiaMunculnya pertanda senjata sakti yang telah lama menghilang, memicu perang masa lampau terulang kembali. Ambisi - ambisi serakah untuk menguasai dunia mendapatkan perlawanan. Perjalanan musti dilakukan demi tercapainya ketrentaman alam ini. Akan te...