BAB VII Memperbaiki Bumandhala 3C

260 20 0
                                    

Peperangan dan Menuju Khayangan

Nyai Nawang yang mendengar pertanyaan para warga segera melihat kearah mereka. "Tidak apa – apa anak – anakku. Mereka berdua tamuku."

"Ohh baiklah kalau memang seperti itu." Jawab salah satu warga. Beberapa warga kembali kerumah masing – masing, sedangkan yang lainnya memilih tetap berada ditempat.

"Nyai Nawang, saya harus bagaimana?" Khamsu merasa bingung dengan kejadian yang baru saja terjadi. "Saya sendiri belum tahu harus apa. Nak Khamsu lebih baik disini dulu, tunggu gurumu kembali." Ujar nyai Nawang

"rrHAAA!!". Tak lama berselang terdengar suara teriakan dari jauh yang semakin mendekat. Bruk. Dalik jatuh berlutut ketanah di pelataran rumah nyai Nawang. Badannya membungkuk lemah.

"Guru." Khamsu segera mendekat kearah gururnya lalu memegang lengan Dalik sambil berlutut. Ia bingung akan berbuat apa. Belum pernah ia melihat gurunya kalut seperti ini. Nyai Nawang yang terkejut segera ikut berlutut disamping Dalik

"Gagal sudah, tugasku.." Ucap Dalik pelan sambil menunduk. "Akan ada kekacauan di tanah ini. Aku benar – benar gagal..."

"Tenangkan dirimu nak Dalik." Nyai Nawang memegang pundak Dalik dengan tangan kanannya. "Jangan salahkan dirimu..."

"Tetapi pusaka Bumandhala sudah hilang nyai, padahal rekan - rekan kami yang sedang berperang sangat berharap pada pusaka tersebut." Dalik memotong perkataan nyai Nawang.

"Kehendak Dewata ternyata terkadang membingungkan para manusia. Hehehe saya sendiri mengalami hal ini setelah tinggal di alam ini." Nyai Nawang tersenyum. "Namun saya yakin, mereka akan memberikan yang terbaik bagi manusia." Ia berusaha menguatkan hati Dalik.

"Apa yang terbaik nyai, satu – satunya harapan terbaik kami sudah hilang." Ucapan Dalik terdengar pelan seperti kehilangan tenaga. Kepalanya masih menunduk. "Apakah nyai tidak mengetahui sinar apa itu tadi?"

"Saya tidak mengetahuinya nak Dalik, saya juga tidak mengira akan ada kejadian seperti ini."

"Tetapi..nama nyai tadi disebut?"

"Benar sekali, saya juga masih bertanya – tanya siapa yang menyebut namaku.." jawab nyai Nawang

"Hhhhhh...fffffttt." Dalik menerik napas panjang sambil merubah posisinya jadi duduk bersila. Kepalanya masih saja menunduk lemas.

"Guru, lalu apa yang akan kita lakukan?" Khamsu mengajukan pertanyaan. Namun Dalik tidak menjawab, ia hanya mengangkat tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka. Ia memberi isyarat kepada Khamsu untuk diam. Melihat itu, Khamsu segera ikut duduk bersila disebelah kanan gurunya terdiam.

* * *

Cahaya api obor dipihak Tamisra semakin berkumpul bertambah banyak. Bagaikan air danau yang luas, tetapi ini terbuat dari cahaya api.

"Hahaha! Dengan pasukan sebesar ini, bajingan Badraniya tidak akan selamat kali ini. Huahahaha." Abire nampak percaya diri dihadapan pasukannya

"Benar sekali tuanku Abire. Ribuan tahun penantian akan berakhir dengan kematian si gendut itu heheheh." Iputini pun serupa dengan Abire, penuh percaya diri.

"Apalagi, senjata andalan mereka sudah tidak berguna lagi. Hahahah" Abire tertawa terbahak diikuti oleh para petinggi Tamisra lainnya.

Sementara itu, dipihak Sandya, kecemasan dan kekhawatiran nampak terlihat diwajah para prajurit. Berlipat – lipat jumlah musuh yang akan dihadapi besok pagi mengacaukan pikiran mereka. Kepercayaan diri dengan hasil peperangan siang tadi, tidak terlihat malam hari ini.

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang