BAB VI. Memperbaiki Bumandhala 2.D

282 20 0
                                    

Pantai Selatan

Dalik lalu berdiri dan melemaskan ototnya yang kaku, wajahnya menengadah melihat kearah bulan. Krek. Krek. Terdengar beberapa kali bunyi otot Dalik. "Kenapa guru, apa ingin melihat Daliyung lebih jelas?" Khamsu memandang gurunya yang sudah berdiri.

"Sembarangan, ayo berdiri. Sudah saatnya bertemu kanjeng ratu." Dalik lalu melompat kearah batu karang dibawahnya, lalu melompat lagi terus hingga sampai ke pasir. Khamsu segera menyusul gurunya turun. Mereka lalu berjalan memutar menuju ke puncak bukit.

Sesampainya di puncak bukit, mereka melihat sebuah pendopo indah tanpa atap. Tentu saja itu merupakan bangunan gaib. Empat buah tiang dari kayu berukir indah berhiaskan emas – permata. Dinding sebatas lutut orang dewasa menjadi pembatas bangunan itu. Kain sutera putih tipis berkibar pelan diikat disetiap tiang kayu. Sedangkan empat perempuan berkebaya hijau duduk bersimpuh di luar pendopo di sebelah kanan dan kiri menghadap kearah pantai selatan.

Seorang wanita duduk memandang rembulan yang sedang purnama dengan raut wajah senang. Kulit tubuhnya terlihat putih seakan memantulkan cahaya bulan. Meski terlihat dari samping, kecantikannya terpancar dengan jelas.

"Kita tunggu disini dulu, aku kira sudah selesai." Dalik lalu menghentikan langkah, diikuti oleh Khamsu. Dengan jarak sekitar tiga puluh meter dari pendopo, Dalik merasa aman dan tidak akan mengganggu jalannya ritual.

"Apakah kanjeng ratu pantai selatan itu yang didalam pendopo?" Tanya Khamsu pelan. "Benar." Jawab Dalik. Mereka lalu diam memperhatikan kegiatan yang ada dipendopo.

"Emban, kita kembali keistana." Terdengar pelan suara lembut kanjeng ratu pantai selatan memberi perintah. Keempat perempuan berkebaya hijau lalu berbalik arah ke arah ratu, lalu menyembah. Keempatnya lalu berdiri.

"Ayo cepat." Dalik menepuk pundak Khamsu dan melangkah cepat ke arah pendopo. "Maaf mengganggu kenyamanan kanjeng ratu." Dalik langsung menyembah sambil sedikit membungkuk ketika sudah dekat dengan pendopo. Khamsu pun ikut menyembah.

Kelima perempuan di pendopo pun kaget dan segera menoleh kearah sumber suara. "Siapa kalian!" Salah satu emban beratanya sambil melesat melayang kearah Dalik dan Khamsu yang masih menyembah. Ia lalu memasang kuda – kuda siap menyerang. Ketiga emban lainnya segera ikut melesat dan mengepung Dalik dan Khamsu.

"Mohon ampun atas kelancangan kami berdua, kami dalam kondisi mendesak dan ingin bertemu kanjeng ratu." Dalik berbicara dengan tenang sambil tetap dalam posisi menyembah.

"Ikat!" Salah satu emban memberi perintah. Sepertinya ia pemimpin emban yang mengawal ratu saat itu. Lalu mereka berempat mengepalkan tangan kanan masing – masing. Setelah merapal mantra, kepalan tangan dihentak kedepan seperti sedang melempar. Dari telapak tangan yang dihentak, munculah sinar putih panjang seperti tali menuju ke arah Dalik dan Khamsu. Sinar putih terus memanjang dan mengitari tubuh sasaran. Lalu Dalik dan Khamsu pun terikat dibagian perut sampai dada jadi satu saling membelakangi. Ikatanya sangat kencang, Khamsu berusaha melepaskan diri tetapi gagal. Sedangkan Dalik tetap tenang tidak berusaha melepaskan dari ikatan. "Sstt tenang, jangan berusaha lepas." Dalik berbicara pelan kepada Khamsu. Khamsu pun menurut dan menghentikan usahanya.

"Saya mohon dengan sangat, biarkan kami menghadap kanjeng ratu." Sekali lagi Dalik memohon kepada para emban. "Kanjeng ratu tidak ada urusan dengan kalian, mati kalian!" Keempat emban mengangkat tangan kanannya dengan jari telunjuk dan jari tengah diacungkan. Lalu jari – jari tersebut mengeluarkan sinar hijau cerah siap untuk menyerang.

"Hentikan!" Terdengar suara dari dalam pendopo. Para emban pun segera membatalkan serangan karena paham dengan suara yang memberi perintah. "Bawa kemari orang itu." Kanjeng ratu merasa penasaran, karena kedua orang itu bisa melihat dirinya dan para emban. Ia berpikir bahwa yang datang bukan orang sembarangan.

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang