BAB IX Lawan Lama 2

334 24 0
                                    

Sanggala ternyata ikut menyusul ke tengah arena pertarungan. Namun ia tidak ikut menyerang. Ia segera melakukan penyembuhan terhadap eyang Badranaya.

Sanggala memegang kepala eyang Badranaya dengan kedua tangan. Seketika sinar putih kebiruan berpendar ditelapak tangannya.

Bleng. Blem. Darr. Semua serangan mengenai sasaran.

"Hahahah, ayolah. Kalian jangan bermain – main." Serangan serentak yang dilayangkan ternyata tidak berpengaruh apa – apa.

Hyaa. Satera dan para petinggi Sandya melesat kearah Amahkra. Mereka ingin melakukan serangan jarak pendek.

Ahhhkk..., belum juga menyentuh sasaran, Satera dan kawan – kawan terpental terdorong tenaga yang besar. Mereka jatuh bergulingan ditanah.

Bangkit lagi, lalu mereka kembali menyerang. Namun sia – sia, mereka kembali terpental.

Berbagai teknik serangan sepertinya tidak mampu melukai Amahkra, jangankan melukai, menyentuhpun tidak.

Memaksakan untuk menyerang, membuat para petinggi Sandya justru terluka dalam. Benturan dengan tenaga pelindung Amahkra ternyata berakibat fatal. Mereka terkulai tidak berdaya.

"Hahahah Badraaa....., kenapa kamu membawa orang – orang tidak berguna hah. Hahaha." Amahkra merasa puas. Tidak ada yang dapat mengalahkannya sekarang. Ia pun melayang – layang diudara.

Wiiingngg. Tiba – tiba sinar putih memancar dari langit dibarengi dengan suara berdesing. Sinar itu menyorot lurus kebawah kearah eyang Badranaya.

Sebuah benda berpendar keemasan melesat dari langit menuju bumi.

Craakk. Benda itu menancap dalan tanah. Dalam kondisi tidak berdayanya, para petinggi Sandya memperhatikan benda yang baru saja saja jatuh didekat mereka.

Sebuah keris lengkap dengan sarungnya terlihat mengepulkan asap putih. Perlahan – lahan pendaran sinar keemasan meredup dan menghilang.

Semuanya terdiam. Tidak terasa pancaran tenaga apa – apa dari keris tersebut.

Kecuali Amahkra, ia meraung keras.

"Ggrruuuaaahhhh....." Raungan gusar terdengar menggema. Amahkra mengenali keris yang tertancap ditanah. Sebuah senjata yang pernah mengalahkannya, membuatnya tunggang langgang melarikan diri. Meskipun tidak ada pencaran tenaga dari keris tersebut, namun ia merasakan aura mencekam dan menakutkan.

Perlahan Amahkra melayang turun ketanah, seluruh tubuhnya bergetar menahan kengerian yang menyerang hatinya.

"Keparaat...., ternyata benda itu masih ada." Ujarnya dengan bergetar.

"Huaaaa!" Amahkra meningkatkan kekuatannya. Ia berusaha menghilangkan rasa takut.

"Hueekk." Diluar dugaan, Amahkra memuntahkan darah hitam. Ia memegangi dadanya dengan menahan rasa sakit.

Sraaatt. Sebuah garis panjang tiba – tiba muncul melintang dari kiri atas ke kanan bawah. Asap hitam pekat mengepul melalui garis yang semakin melebar.

Amahkra ambruk bersimpuh. Ia menahan sakit yang menyengat dari luka didadanya. Luka yang diperoleh akibat sabetan keris pusaka Bumandhala pada pertarungan dahulu kembali terbuka.

"Laknat..., kenapa luka ini tidak bisa sembuh?" Ujar Amahkra pelan.

Perlahan ia duduk bersila. Tenaganya dipusakan kebagian dada. Tidak lama luka didadanya merapat sedikit demi sedikit, hingga akhirnya tertutup menyisakan garis melintang.

"Masih ingat dengan luka itu?" Terdengar seseorang berbicara.

Amahkra pun memalingkan pandangan ke sumber suara. Ternyata eyang Badranaya sudah berdiri memegang keris pusaka yang masih berada disarungnya di tangan kirinya.

BUMANDHALA : MENJAGA BUMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang