1: Dean?

364 83 43
                                    

Aku menghela napas lega, setelah tiga hari masa MPLS yang melelahkan, akhirnya aku bisa bernapas lega di depan pintu kelas X IPS 3.

Aku masuk ke kelas dan menempati bangku nomor dua dari depan, persis disebelah jendela. Aku memilih memejamkan mata sejenak diatas meja, dengan tasku sebagai lapisannya.

Aku tidak benar-benar tertidur, aku hanya mengistirahatkan mata yang mungkin sudah menyerah dengan segala aktivitasku belakangan ini. Tapi, semesta masih tak ingin memberiku ketenangan, sepertinya.

"Anin!" Ya. Itu suara milik temanku sedari SMP, Renata. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Aku cukup bersyukur bisa kembali satu kelas dengan Renata, ya karena memang saat di SMP ia merupakan salah satu sahabatku sejak kelas delapan dan sempat merenggang saat di tahun terakhir di putih biru.

"Napa deh lo pagi-pagi udah mau tidur aja di kelas, dasar malesan!" Suara nyaring miliknya memenuhi seisi kelas.

"Berisik ah lo, gue kurang tidur." Jawabku malas.

"Yaudah deh, gue mau ke kantin nih mau nitip atau ikut aja?"

"Susu kotak yang 250ml rasa strawberry, yang dingin ya!" Ya. Selalu. Susu stroberi, dingin. Kesukaanku sejak aku mengenal seseorang yang kuanggap terbaik tapi ternyata tetap meninggalkan, takdir kadang sejahat itu.

Renata mengangguk-angguk paham lalu melangkah pergi menuju kantin. Tapi, lagi-lagi aku salah mengambil keputusan, seharusnya aku ikut saja dengan Renata pergi ke kantin, karena duduk sendirian di kelas itu benar-benar membosankan.

Ditengah kebosanan yang melanda, aku memilih meng-upload instastory di Instagram, berharap seseorang melihatnya dan membalasnya mungkin. Namun, lagi-lagi semesta kembali bermain-main, seseorang membalas instastory milikku. Bukan. Ini bukan orang yang kuharapkan.

Aldean_ : pjg bgt dah tuh alis

Aku mengernyitkan dahi, ya bingung. Siapa Aldean? Aku tak mau ambil pusing, orang iseng mungkin.

Lima belas menit sudah, Renata belum juga menunjukkan senyum tengilnya, dan dengan tiba-tiba menelfonku dan memintaku untuk menyusulnya, huh.

Aku melangkah gontai menuju kantin, sendirian. Aku ulangi, sendirian. Dan sepertinya semesta memang sedang ingin mempermainkan mood-ku belakangan ini.

Untuk sekedar informasi, aku adalah gadis ceroboh yang hampir setiap saat melakukan ritual terjatuh dengan pose tidak sempurna. Dan kali ini, tepat di depan rombongan anak pria yang kuyakini kakak kelasku itu, aku dibuat terjatuh oleh kecerobohanku sendiri.

Tidak. Rasa sakitnya tidak seberapa dibandingkan wajahku yang sekarang sudah tertunduk tidak berani menghadap ke depan, menatap orang-orang disekitarku.

Aku bergegas berdiri dari tragedi jatuhku barusan dan merapikan seragamku lalu dengan cepat aku melanjutkan langkahku yang sempat tertunda. Namun, seseorang kembali berhasil menghentikan langkahku.

Pria dengan tubuh tidak terlalu tinggi dengan kulit tidak terlalu putih dan wajah yang terlalu tampan.
"Makanya kalau jalan jangan buru-buru, malu kan jadinya." Dan, ya. Pemikiranku tentang pria tampan berubah menjadi pria menyebalkan yang sok akrab.

Untuk kesekian kalinya aku melanjutkan langkah kakiku yang entahlah, selalu tertunda dan tanpa membalas ucapan pria gila tadi tentunya.

***

"Iya, Re. Gue tuh sebel banget, datang-datang bikin mood gue hancur tuh orang. Sksd banget lagi."

Ya. Kali ini aku sedang menumpahkan segala kekesalanku dihadapan Renata, gadis bloon yang anehnya selalu mengerti tentang segala yang aku ucapkan.

"Terus? Anaknya ganteng gak?" Tanya Renata excited.

Aku memutar bola mataku malas. Renata masih sama, pemburu lelaki berwajah tampan.

"Nggak." Jawabku.

"Masa sih? Ga percaya gue, dulu aja pas SMP lo bilang si Alvin gak ganteng eh taunya Subhanallah nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan." Renata selalu saja begitu, berlebihan.

"Terserah deh, Re."

"Anin, dengerin Renata ya... Lo itu gak cantik, sumpah gue gak boong lo gak cantik, Nin."

"Re, diam atau gue gak akan bayarin bakso lo ya? Bayar sendiri sana!" Ancamku.

"Ngga, Nin. Gue serius. Lo gak cantik, tapi lo manis banget gila ga bohong nih gue! Dan selain itu lo juga punya aura cute yang menarik cowok-cowok ganteng buat mendekat. Dan lo yakin mau nyia-nyiain gitu aja?" Kata Renata menatapku dengan serius, tapi justru malah membuatku menahan tawa. Selalu saja begitu, Renata yang berlebihan.

"Re, lo sendiri tau hati gue belum sepenuhnya sembuh dari luka yang kemarin. Ya, walaupun semuanya berakhir baik-baik tapi menurut gue gak ada yang akan baik-baik aja setelah perpisahan." Kataku melemah, mengingat seseorang dari bagian masa laluku, rasanya masih sama menyakitkan hingga sekarang.

"Gue tau move on gak segampang itu, tapi life must go on. Lo harus bisa memulihkan hati lo dan salah satu caranya dengan membuka hati buat orang lain, misalnya?"

"Oke, gue buka hati buat orang lain. Tapi bukan buat cowok gila yang gue ceritain tadi, Re." Kataku berusaha mengakhiri perdebatan kali ini.

"Tapi kalau ganteng gimana, Nin?" Renata tetap pada pendiriannya, menganggap semua pria yang pernah aku ceritakan padanya adalah pria tampan.

"Re, dengerin gue. Ini yang terakhir kalinya lo bahas dia atau gue gak akan mau traktir lo lagi seumur hidup!" Ancamku.

"Oke, terakhir. Janji!" Katanya tersenyum sok menggemaskan.

Ya. Itu Renata, bloon dan berlebihan memang. Namun, setidaknya ia selalu mengerti semua yang membuatku tidak nyaman. Jadi, dengarkan baik-baik, aku tidak akan pernah diam jika ia merasa terusik oleh siapapun. Garis bawahi, siapapun!

----

816 words.
Dipublish, 5 maret 2019:)

Hai, Kamu... [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang