23 : Awal yang baru

39 7 0
                                    

Pagi-pagi sekali Lutfi sudah duduk di atas motornya, di depan rumahku. Semalam Lutfi mengajakku untuk berangkat ke sekolah bersama dan tentunya aku tidak akan menolak.

"Pagi!" Sapaku sambil menepuk pundaknya heboh.

Pria itu tersenyum manis, "Mau berangkat sekarang?" Tanyanya.

Aku diam, memasang wajah penuh amarah.

"Loh? Kok diem?" Ia bertanya heran.

Aku masih diam.

"Lo marah?"

"Menurut lo?"

"Marah kenapa sih, Nin? Gue salah apa?"

"Pikir aja sendiri!"

"Oke-oke. Gue minta maaf." Ia menyerah.

"Lo gak balas ucapan selamat pagi dari gue, Lutfi!"

Ia malah tertawa, senang sekali, "Gara-gara itu?"

Aku diam, melipat kedua tanganku di depan dada.

"Selamat pagi, Anin!" Ucapnya kemudian memberikan helm padaku.

Aku tersenyum lalu dengan sigap memakai helm yang tadi diberikan oleh Lutfi, "Ayo berangkat!"

Lutfi segera melajukan motornya dengan kecepatan standar, aku melihat jarum jam yang terus bergerak di jam tanganku.

"Lutfi, ngebut!" Teriakku.

"Bahaya!"

"Ngebut, Fi!" Paksaku.

"Kenapa sih?!" Lutfi ikutan kesal.

"Kita telat!"

"Pegangan di jaket gue!" Perintahnya kemudian menaikkan kecepatan sepeda motornya.

Aku menurut saja, memegang erat jaket yang dikenakan pria itu. Setelah kurang lebih lima menit mempertaruhkan nyawa di jalanan, aku dan Lutfi sudah berada tepat di depan gerbang sekolah. Namun, gerbang sudah tertutup rapat. Pak satpam sedang meminum kopi hitam miliknya.

"Fi, gimana?" Tanyaku bingung.

"Puter baliklah, gimana lagi?"

"Bujukin dong pak satpamnya biar mau bukain gerbang!" Paksaku.

"Nin, itu bukan Pak Edy, itu satpam baru. Gue gak kenal, gimana mau ngebujukin?"

"Jadi, kita bolos dong?"

"Iya." Jawab Lutfi santai.

"Tapi, gue gak pernah bolos."

"Bohong! Bocah bandel kayak lo ini bahkan udah pernah bolos dari kelas 4 SD!" Ejeknya.

"Kok lo tau?"

"Siapa lagi kalau bukan Renata!" Jawabnya penuh kemenangan.

Aku hanya mengangguk-angguk saja dengan mengirim puluhan sumpah serapah untuk sahabatku itu.

"Yuk!" Lutfi menggandeng tanganku tiba-tiba.

"Kemana?"

"Ke tempat dimana kita bisa lupain semua masalah yang ada!" Jawabnya semangat.

"Jalan kaki?" Tanyaku heran karena ia memarkirkan motornya di warung samping sekolah.

"Kita naik angkot, gapapa kan?"

"Ya gapapa lah, emang kenapa?"

"Ya, kirain aja gak mau."

Aku hanya mengendikkan bahuku, Lutfi melambaikan tangannya pada angkutan umum yang lewat, kemudian kami naik. Aku memilih duduk di dekat jendela, aku senang wajahku ditiup angin.

Hai, Kamu... [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang