Selepas bel istirahat berbunyi, aku langsung berpamitan dengan Renata dan bergegas ke kantin, dengan maksud bertemu dengan Lutfi dan menyelesaikan semuanya.
Hampir lima belas menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kedatangan pria itu, aku mulai bosan menunggunya. Menghabiskan waktu di kantin yang entah kenapa hari ini begitu sepi.
Lima belas menit sudah, ia tak juga datang. Aku memutuskan untuk segera kembali ke kelas. Toh, untuk apa nungguin orang yang jelas-jelas ingat janjinya saja tidak?
Aku berjalan menyusuri sekolah dengan wajah memerah penuh amarah, tapi tepat ketika melewati belakang gedung kelas sebelas yang kebetulan ada sedikit tanah kosong, disana ramai sekali.
Berbekal rasa penasaran yang tak terbendung, aku mendekati kerumunan tersebut, kemudian membulatkan bibir sambil mengangguk-angguk paham, oh ada yang lagi berantem.
Eh, tapi itu Lutfi kan? Berantem lagi? Melupakan janjinya denganku cuma karena mau berantem?
Aku berusaha untuk tidak peduli dan tetap melanjutkan langkahku, setidaknya tiba di kelas dengan segera itu adalah yang terbaik untuk saat ini.
"Anin!"
Itu suara Renata, aku hapal di luar kepala.
Aku menoleh sebentar, "Gue mau ke kelas." Ucapku.
Renata menarik tanganku kasar, "Bentar dulu!"
Aku memutar bola mataku malas, "Apa sih?"
"Itu! Lutfi berantem!"
"Gue tau, terus kenapa?"
"Nin, gue tau kalian lagi berantem, tapi tolong kali ini aja lo suruh Lutfi berhenti dulu, dia pasti nurut sama lo."
"Kenapa gue harus nyuruh dia berhenti? Toh, dia yang mau berantem, kan?"
Renata berteriak kesal, "Nin, Lutfi lagi sakit! Dia gak sekuat biasanya, Kak Seno leluasa banget mukulin dia!"
Aku melirik Lutfi, ia juga menatap ke arahku. Namun, aku segera mengalihkan dan kembali menatap Renata, "Gue gak peduli, Re. Itu bukan urusan gue."
"Udah gila lo, Nin!" Teriak cewek itu frustasi.
Aku melangkahkan kaki dengan segera tanpa memedulikan gadis itu, aku hanya ingin cepat-cepat tiba di kelas. Kalau boleh jujur, aku mengkhawatirkan pria itu. Wajahnya sangat pucat , benar kata Renata, ia sedang sakit.
_________
Sejak kejadian tadi, Renata mendiamkanku. Bahkan, ia bertukar tempat duduk dengan Nino.
"Nin," Panggil Nino hati-hati.
"Hm?" Aku menjawab malas.
"Masih berantem sama Lutfi?" Tanyanya menurunkan nada bicara agar tidak didengar anak-anak yang lain.
"Iya. Kenapa? Lo mau nyalahin gue juga?"
Pria itu tertawa kecil, "Lo gak pengen tau keadaan cowok lo?"
Aku mengulum bibir kedalam, menarik napas panjang lalu menggeleng berat.
"Jangan nyesel." Ucap pria itu kemudian bergegas pergi keluar kelas dengan menyandangkan tas sekolahnya. Ya, bel pulang baru saja berbunyi.
Aku mengambil tasku dan beranjak segera pulang, kondisiku sangat buruk hari ini.
Saat sedang menuruni tangga, di ujung anak tangga, Lutfi berdiri dengan banyak plester di wajah dan lengannya, ia bersama teman-temannya.