15 : Waktu

38 8 0
                                        

"Jadi, novel yang lo kasih ke gue itu pemberian dari Arka ya, Nin? Lo kasih itu ke gue supaya gue bisa kayak Arka, ya?"

Aku diam. Lutfi sama sekali tidak salah. Semua yang ia ucapkan benar.

"Lo, masih belum bisa naruh seutuhnya hati lo buat gue, ya?" Lutfi menatapku penuh tanya.

"Gue cuma butuh waktu dan semua bakal baik-baik aja dan akan berjalan semestinya, Fi." Aku mencoba menjelaskan kepada pria yang berstatus pacarku itu.

"Anin, dengerin gue baik-baik. Lo gak bisa terus-terusan egois kayak gini, karena gue juga gak bisa untuk terus-terusan sabar liat cewek yang gue sayang ternyata masih nyimpan setengah hatinya buat cowok lain."

Aku diam sejenak, berusaha menyusun kata-kata agar Lutfi tidak meninggalkanku, aku belum siap.
"Kasih gue waktu lagi, Lutfi."

"Lo butuh berapa lama lagi, Nin? Apa yang lo pengen dari gue supaya lo bisa kasih hati lo seutuhnya buat gue?" Suara Lutfi mulai melemah, itu tandanya ia benar-benar kecewa.

"Lutfi," Aku mencoba memanggil Lutfi dengan nada sehalus mungkin.

"Kenapa, apa yang mau lo omongin ke gue, Nin?"

"Gue minta maaf."

"Gue gak mungkin bisa untuk gak maafin lo, Nin. Kadang lo nya aja yang jadi seenaknya sama gue karena gue selalu maafin semua kesalahan yang lo lakuin." Lutfi terus menyudutkanku, aku yang memang jelas-jelas salah semakin terlihat menyedihkan.

"Lutfi, jadi lo maunya gimana?" Aku menyerah, tidak tahu lagi harus apa.

"Gue mau sendiri dulu. Kita tenangin diri masing-masing dulu ya, Nin?" Ia menatapku sendu.

Hatiku mencelos, "Lo gak akan ninggalin gue kan?"

Ia menggeleng, "Gue udah janji gak akan ninggalin lo, Nin."

"Makasih, Fi. Lo terlalu mengerti gue."

"Nin, selama kita gak sama-sama, lo selesain masalah lo sama Arka dulu, ya? Kalaupun seandainya lo mau balik ke Arka lagi, balik aja. Jangan pikirin gue."

"Gue gak suka lo ngomong kayak gitu!" Aku menatap Lutfi tajam.

"Nin, jangan munafik. Semua yang gue ucapin itu benar, dan lo tau itu. Jadi, jangan pernah pura-pura membantah apa yang sebenarnya terjadi."

Aku diam, sudah malas membahas hal ini. Aku ingin lenyap detik itu juga.

"Maaf kalau gue nyakitin perasaan lo hari ini, Nin. Tapi, gue juga sama. Sakit."

Aku terdiam, kali ini cukup lama. Banyangan pertama kali aku bertemu Arka. Kemudian, Arka pergi. Lalu, bertemu dengan Lutfi. Semuanya memusingkan.

"Fi, hubungan kita ini nyakitin. Lo yakin mau bertahan di dalam hubungan berat ini sama gue?" Kata-kata yang sama sekali tidak ingin kuucapkan, akhirnya terucap juga.

"Jadi, lo minta putus, Nin?" Lutfi terlihat sangat terkejut.

"Gue gak minta putus, gue cuma gak bisa terus-terusan nyakitin hati lo."

"Harusnya gue tau dari awal, ini resikonya menjalin hubungan sama perempuan yang hatinya masih tertinggal di masa lalunya. Tapi, kalau itu mau lo, yaudah gapapa."

"Maafin gue. Tapi, lo pantes dapet yang lebih baik dan bisa mencintai lo seutuhnya, gak kayak gue."

"Gue tau Arka jauh lebih berarti buat lo. Gue mundur." Lutfi tersenyum, senyuman yang berbeda.

"Lutfi, gue--------"

"Yuk pulang!" Lutfi menggandeng tanganku menuju parkiran.

Hari yang semestinya menyenangkan menjadi hari yang benar-benar menyesakkan.

Hai, Kamu... [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang