"Lutfi!" Teriakku dari ujung koridor kemudian segera berlari menghampiri pria itu di depan kelasnya.
Ia hanya menaikan salah satu alisnya seolah bertanya 'ada apa'.
"Gue mau ngomong." Ucapku berusaha untuk tetap tenang.
"Gue lagi sibuk." Balasnya berusaha untuk menghindariku.
"Sibuk apaan sih lo?"
Ia menatapku berbeda, tatapannya dingin, "Gue udah kelas dua belas, gue mau ngurusin nilai-nilai gue yang kosong."
"Gue cuma mau ngomong sebentar, apa lo gak ada waktu buat dengerin gue?"
Ia menghela napas panjang, "Yaudah, buruan."
"Lutfi,"
Ia membalas dengan tatapan tertuju ke handphone di tangannya, "Hm."
"Fi,"
"Apa?" Jawabnya masih enggan melihatku.
"Liat gue!"
Ia mengalihkan pandangannya, ia menatapku tajam, "Lo mau ngomong apa? Waktu gue gak banyak."
Aku berusaha untuk tetap bersikap tenang dan tidak terpancing dengan perlakuan pria di depanku ini, "Lo maunya gimana sih, Fi?" Tanyaku akhirnya setelah mengumpulkan keberanian.
"Lo maunya gimana?" Ia malah balik bertanya.
"Lo gak capek diem-dieman kayak gini? Gue capek tau, Fi. Lo selalu ngehindar tiap kali gue mau nyamperin lo. Gue kangen lo, Fi."
"Gue gak ngehindar."
"Terus apa namanya? Tiap kali lo lihat gue lo langsung pergi sama temen-temen lo padahal lo tau kalau gue mau nyamperin lo. Itu apa namanya, Lutfi?!"
"Gue cuma gak mau lo ngerasa terganggu sama gue. Gue cuma pengganggu di hidup lo kan, Nin? Gue cuma bakteri di hidup lo yang sempurna, iya kan?"
"Lo ngomong apa sih?"
"Bukannya lo sendiri yang keberatan sama kehadiran gue di sisi lo? Terus kenapa lo malah nyari gue?"
"Fi, gue cuma mau lo jawab pertanyaan gue. Lo maunya gimana? Gue gak ngerti kita ini apa."
"Lo tanya jawabannya sama diri lo sendiri, Nin. Kalo ngomongin soal capek, gue juga capek. Gue capek terus-terusan mohon buat hubungan ini biar tetep jalan, tapi lo? Lo selalu gak peduli sama semua perjuangan gue. Hati juga ada kadaluarsanya, kan?"
Aku membelalak kaget, "Gue minta maaf, gue tau gue salah."
"Gue bahkan udah bosen denger kata maaf dari lo, Nin. Dan untuk jawaban dari pertanyaan lo tadi, lo tanya sama diri lo sendiri dulu. Kalo lo udah nemu jawabannya, lo bisa temuin gue."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, pria itu masuk ke kelasnya dengan wajah datar juga tatapan yang sulit kuartikan.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, "Apa kita udahan aja, Fi?" Lirihku pelan, nyaris tak terdengar.
_____________
Sedari tadi, aku tidak bisa fokus dengan Ibu Tya yang sedang menjelaskan pelajaran matematika di depan kelas. Pikiranku seolah terhipnotis untuk fokus pada Lutfi, tatapannya pagi itu, wajah datarnya, ucapannya benar-benar menusukku tepat tidak meleset.
"Anin, kalau ngantuk, cuci muka sana!" Tegur Bu Tya.
Aku hanya mengangguk menurut dan segera beranjak keluar kelas, alih-alih mencuci wajahku, kakiku membawa Si Empunya ke kelas pria itu.