17: Tamu ya?

44 3 0
                                    

Teriakan ibu membuyarkan semua lamunanku, "Nin, ada tamu, bukain pintunya! Ibu lagi masak."

Aku segera berjalan menuruni anak tangga menuju ke pintu depan, ya kalau tidak tetangga sebelah rumahku, itu pasti teman sekolah Ibu dulu.

Aku menjawab salam dari balik pintu, kemudian membukakan pintunya, seseorang tersenyum lebar,
"Hai, Nin!"

"LOH KOK? IDO? KOK LO DISINI?"

Ia makin melebarkan senyumnya, kali ini bak model iklan pasta gigi, "Surprise!"

"Lo bilang lagi sama temen, udah bakat bohong ya sama gue?"

"Engga bohong, Nin. Kejutan."

Aku tak bisa menahan bahagia melihat sosok yang begitu kurindukan, "Mau masuk gak?" Tanyaku, pura-pura tak peduli.

"Salah. Yang benar itu bukan mau masuk gak, tapi, Ido ayo masuk. Gitu."

"Iya. Iya. Gimana bagusnya aja." Kataku, kemudian melangkah masuk ke ruang tamu.

Tapi, Ido tetap diam di depan pintu. Entah apa yang sedang merasuki pria itu, "Ido, ngapain di depan pintu?"

"Ulang."

"Apanya?"

"Ajak gue masuk. Yang bener."

Aku tertawa keras, "Iya, iya. Ayo masuk, Ido."

Ia kembali melebarkan senyumnya dan masuk ke ruang tamu, mendahuluiku. Dasar.

"Ibu mana, Nin?" Pria itu sudah duduk tanpa ditawarkan.

"Lagi di dapur, masak."

"Wah, enak!"

"Jangan bilang lo jauh-jauh kesini cuma mau numpang makan ya, Do!"

"Enggak. Gue tau lo lagi banyak masalah, mana tega gue biarin lo ngegalau sendirian. Yaudah deh, gue samperin. Makin sayang gak lo?"

"Najis."

"Yaudah, gue pulang."

"Ih, iya, iya. Gue sayang banget sama lo, Do. Gila. Kalau gak goblok udah gue pacarin lo."

"Enak aja lo!"

Dari arah dapur, Ibu datang membawa sepiring pisang goreng kesukaanku dan Ido, "Eh ada Ido, lama gak kesini ya, kemana aja kamu?"

"Lagi sibuk, Bu. Ini baru ada waktu luang, langsung tancap gas kesini." Balas Ido, tak lupa dengan cengiran menyebalkannya.

"Sok sibuk. Kayak yang punya pacar aja." Balas Ibu dengan wajah mengejek.

Aku dan Ido saling menatap, seperempat detik sesudahnya tawa kami pecah memenuhi ruang tamu. Ibu hanya geleng-geleng kepala, sudah tidak heran.

"Udah ah, Ibu mau ke atas dulu. Mau istirahat. Capek."

Aku dan Ido kompak menunjukkan sikap hormat pada Ibu, kemudian mengangguk bersamaan.

Selepas ditinggal Ibu untuk berisitirahat, Ido menatapku penuh keseriusan. Dan itu, menakutkan untukku.

"Do, liatinnya jangan gitu." Tegurku.

"Buruan cerita." Ido memaksa.

"Cerita apa? Kan udah diceritain di telpon tadi."

"Apa aja, cerita apa aja yang bisa ngurangin beban lo."

"Ya. Gak ada. Masalah hati doang, Do."

"Udah coba bilang ke Lutfinya?"

Aku mengangguk, "Gue udah chat, tapi belum dibalas."

Ido tersenyum, "Gitu dong. Kalau salah, jangan takut minta maaf duluan dan ngakuin kesalahan ya, Nin?"

Hai, Kamu... [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang