Aku diam di kamar sejak pagi, malas untuk melakukan aktivitas sekecil apapun. Sejak diantar Lutfi pulang kemarin, ada yang mengganjal.
Entahlah, aku juga tidak tahu pasti apa yang terasa begitu mengganjal dihatiku. Mungkin, aku dan Lutfi menbahas hal yang tidak patut untuk dibahas kemarin, ya mengenai perpisahan di hari mendatang.
Sejujurnya, aku juga takut untuk kehilangan sosok Lutfi. Aku juga sudah terlanjur jatuh pada dekapannya. Sosok pria yang menarik tanganku untuk bangkit dari keterpurukan di masa lalu. Ia juga yang mengutuhkan kembali pecahan-pecahan hatiku sebab masa lalu yang menyakitkan dulu. Rasanya, aku begitu menyayangi sosok pria menyebalkan seperti Lutfi. Memikirkan tentangnya tak akan ada habisnya, ia terlalu berarti bagiku.
Aku beranjak dari tempat dudukku, aku hampir lupa sudah menjanjikan untuk lari sore bersama Lutfi. Aku melihat handphone-ku, puluhan panggilan dan pesan dari pria itu yang mengatakan bahwa ia sudah berada di depan rumahku.
Aku segera menghampirinya, "Hei!" Sapaku.
Ia menatapku kesal, "Lama."
"Maaf ih!" Aku balas menatapnya dengan pandangan kesal.
"Segitu lamanya dandan buat lari sore bareng gue?" Sekarang ia tertawa meledek.
"Udah, cepetan lari. Nanti keburu magrib." Aku berlari kecil mendahului Lutfi.
Pria itu sedikit mengejarku dan menyamakan langkah kaki kami, "Kok lo bawa ransel sih?"
"Gue ada sesuatu buat lo." Jawabku tersenyum misterius.
"Sesuatu apa?"
"Ada deh!"
"Anin,"
"Iya?"
"Apa?"
"Apanya yang apa, Fi?"
"Apaan yang buat gue?"
"Kepo banget."
"Kasih liat gue sekarang atau gue ambil paksa ransel lo?"
"Yaudah iya!" Aku berhenti di sejenak, duduk di bangku pinggir taman. Aku mengeluarkan novel berjudul 'Bumi Manusia', karyanya Pramoedya Ananta Toer dan memberikannya pada Lutfi.
Ia mengambil novel itu dari tanganku, lalu menatapku aneh dan penuh tanda tanya, "Ini apa?"
"Serius lo gaktau?" Tanyaku takjub.
Ia mengangguk.
"Ini buku, Fi. Novel."
"Yang itu gue tau."
"Terus ngapain nanya? Iseng lo?"
"Nggak gitu. Maksudnya, lo ngasih novel ini buat apaan?"
Lagi-lagi aku menatapnya takjub, "Lutfi, beneran lo gak tau novel itu buat apa?"
Ia menggeleng lagi.
"Novel itu buat dibaca, Lutfi! Kok lo bego gini sih?!" Aku mulai kehilangan kesabaran menghadapi pria di hadapanku ini.
"Anin, bukan itu maksudnya! Lo ngapain nyuruh gue baca novel ini?" Lutfi ikut-ikutan kesal.
"Ya gapapa. Gue suka novelnya, ceritanya bagus, gak ngebosenin! Makanya lo harus baca!"
"Harus banget? Gue gak suka baca novel, Nin." Ia menatapku memelas.
"Ya, gapapa sih kalo gak mau. Tapi, serius gue gak bohong, novelnya sebagus itu."
"Yaudah, gue baca nanti malem." Untuk yang entah ke berapa kalinya, ia hanya bisa pasrah dengan semua permintaanku.
"Kalo lo terpaksa, gak usah, Fi. Gapapa kok." Aku sedikit kasihan melihatnya, gitu-gitu ia pacarku.
"Nggak. Gue mau baca pokoknya."
Aku tersenyum lebar. Lutfi itu, mesin pengabul permintaanku.
"Jangan kemana-mana ya, Fi. " Aku menatapnya serius.
"Percaya sama gue, gue gak akan ninggalin lo, tapi kalo lo mau ninggalin gue, itu hak lo. Gue gak akan ngelarang. Apapun Nin, asalkan lo ngerasa senang, gue juga ikut senang."
"Lutfi, lo harus tau gue benci kebohongan. Apalagi pembohong. Jadi, lo jangan pernah bohongin gue, ya? Jujur aja, walau kenyataannya malah nyakitin, seenggaknya gue gak diimingi kebahagian yang sebenarnya adalah kebohongan."
Lutfi mengangguk. Ia mengelus kepalaku. Menarik tanganku pelan, "Tuh lihat diatas sana, mataharinya udah mau gantian shift sama bulan. Yuk, pulang."
Aku tertawa, "Apaan sih segala shift dibawa-bawa, jayus!"
Ia hanya menunjukkan sederetan gigi putihnya.
Lutfi mengantarkanku tepat sampai depan gerbang rumahku, "Mandi. Ganti baju. Makan. Minum air putih yang banyak. Gue gak mau liat cewek bawel kayak lo tiba-tiba jadi diam gak bisa ngapa-ngapain karena kurang sehat. Dah, gue pulang dulu!"
___________
P alembang,3 sept 2019
![](https://img.wattpad.com/cover/177945532-288-k443005.jpg)