Sudah hampir satu minggu aku dan Lutfi menyudahi hubungan kami, selama itu juga kami tak saling bertegur sapa. Awalnya memang sulit, tapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa. Ternyata, semua hanya perihal proses.
Aku membalas sapaan dari beberapa pria yang merupakan kakak kelasku di koridor, mereka mulai berani menyapa ketika mendengar kabar aku dan Lutfi sudah usai.
Aku memang mencintai Lutfi, tapi aku tidak mungkin sebodoh itu untuk lupa mencintai diriku sendiri. Ya, ini Anin. Entah Anin yang baru atau Anin yang dulu sebelum mengenal 'cinta'.
"Nin!" Panggil seseorang di belakangku, oh ternyata Aldean.
Aku menaikan kedua alisku, "Apa?"
"Maafin gue."
Aku tersenyum tipis, "Gue maafin, tapi gue minta tolong jangan pernah ganggu gue lagi, De."
Ia mengangguk paham dan tersenyum kaku.
Aku melanjutkan langkah kakiku menuju kelas, sudah tak sabar ingin berdamai dengan sahabatku, Renata.
"Nino, Renata mana?" Tanyaku ketika tak menemukan keberadaan perempuan itu.
"Tuh!" Nino menunjuk seseorang yang baru saja masuk ke kelas dengan wajah datar.
Aku segera menghampiri perempuan itu, "Re!" Panggilku.
Ia menatapku malas, "Gue lagi males berantem."
Aku beberapa kali mengulum bibir ke dalam menghilangkan gugup, "Gue bukan mau ngajak berantem. Gue mau minta maaf. Maafin gue ya, gue salah."
"Nin, lo tau apa yang bikin gue marah banget sama lo?"
"Karena gue gak mau misahin Lutfi pas dia berantem sama Kak Seno, kan?" Tanyaku tak mengerti.
Renata menggeleng tegas, "Gue emang kesel waktu itu, tapi gue coba buat tetep ngerti."
"Terus, karena apa?"
"Karena lo bohongin diri lo sendiri, lo munafik. Bilangnya gak peduli, tapi lo nangisin dia nyaris setiap waktu. Lo nyakitin diri lo sendiri, Nin. Gue benci sama orang yang munafik."
Aku diam, ucapan Renata mengalahkanku telak.
"Kenapa sih lo gak bisa sekali aja buang jauh-jauh ego lo? Lo gak capek nyakitin diri sendiri terus? Ah bukan cuma lo sendiri yang sakit, Lutfi juga jadi korbannya, kan?"
"Re, rasanya gak pantes kalau lo ikut campur sejauh ini tentang masalah gue dan Lutfi. Lo gak tau banyak tentang hubungan gue sama dia."
"Gue gak pantes ya nasehatin sahabat sendiri?"
"Awalnya gue mau minta maaf karena gue tau gue emang salah, tapi setelah perkataan lo tadi, gue jadi ragu, lo itu beneran sahabat gue atau bukan?"
Aku meninggalkan Renata disana dengan amarah yang masih memuncak. Keputusanku selalu salah di mata semua orang, bukan?
"Nino! Temenin gue ke kantin yuk?" Ajakku memohon.
Nino mengangguk, "Lo belum baikan sama Renata ya?" Bisiknya.
Aku menggeleng kecil, "Gue gak salah, kan?"
Nino mengelus kepalaku pelan, "Lo hebat udah ngelewatin semuanya."
"Makasih, Nino! Lo selalu ada buat gue disaat nyaris semua orang nyalahin gue."
"Dalam persahabatan gak ada kata terimakasih, kan?"
Aku tersenyum miring, "Kalo gitu lo salah. Ada tiga kata penting yang wajib banget lo ucapin baik itu ke orangtua, saudara, pacar, sahabat, dan temen-temen lo, tanpa pengecualian. Maaf, terimakasih, dan tolong."