24 : Bahagia

32 6 0
                                    

"Nin, jadian lagi yuk?"

Aku mematung. Ini tidak salah?

"Bentar, Fi. Gue abisin ice cream dulu, gue gak bisa mikir." Jawabku jujur.

"Nin, gue lagi gak bercanda."

Aku diam, menarik napas sejenak, "Iya."

"Iya apa?"

"Iya, gue abisin ice cream nya dulu."

Lutfi memasang wajah kesalnya, menggemaskan.

"Iya, kita jadian!" Ralatku sebelum pria itu berubah menyeramkan.

"Oh."

"Gila lo ya?! Oh doang?! Yaudah, bodo amat gue sama mas-mas itu aja, bye!" Aku berjalan menuju seorang pria yang sedang lari pagi, sepertinya umurnya baru 17 tahun.

"Eh, Anin!" Lutfi memanggilku, tapi aku adalah aku yang keras kepala.

"Nin, mau ngapain? Allahuakbar!" Ia gemas sendiri, lucu sekali.

"Mas, lagi lari pagi ya?" Tanyaku basa-basi sambil ikut berlari kecil di sebelahnya.

"Iya nih, btw anak SMA jam segini ngapain di taman kota? Bolos ya?"

Sial. Kenapa semua orang begitu menyebalkan hari ini?

Belum sempat aku menjawab ucapan pria tadi, Lutfi sudah ikut berlari kecil di tengah-tengah ku dan pria tadi, "Mas, maafin pacar saya ya. Anaknya emang gitu, ini aja saya dipaksa bolos sekolah sama dia." Ucap Lutfi sambil merangkulku posesif.

Pria tadi hanya tertawa, sebelum akhirnya berpamitan untuk melanjutkan acara lari paginya yang terganggu.

"Gak usah deket-deket gue!" Aku menatap Lutfi marah.

"Iya." Lutfi mundur beberapa langkah dariku, tapi masih mengikuti langkahku di belakang.

"Lutfi, lo biarin gue jalan sendirian? Yang ngajak gue kesini siapa sih?"

"Salah mulu, heran." Kemudian menyejajarkan langkahnya denganku.

"Ya emang." Balasku jutek.

"Iya, iya. Maaf ya?"

"Nggak."

"Damai dong, Nin?"

"Nggak mau."

"Gue bayarin makan deh!"

"Ya emang gitu harusnya!"

"Terus gue harus gimana?"

"Kok lo nanya gue sih, tanya tuh sama diri lo sendiri!"

"Anin, lo mau apa, gue turutin deh!" Ia menyerah.

"Beneran?"

Ia mengangguk, "Asal lo mau maafin gue."

Aku tersenyum licik, "Jawab pertanyaan gue dengan jujur dan lo gue maafin."

"Iya, mau nanya apa?"

"Di mata lo, Manda itu gimana?"

"Ya, cantik. Udah gitu anaknya baik, pemikirannya dewasa banget sih."

"Kok lo muji-muji dia di depan gue sih?"

"Nin, lo yang nanya kan?"

Iya. Tapi, tetap saja menyebalkan mendengar semua pujian yang terlontar dari mulutnya.

Aku diam. Kali ini, keisenganku menghancurkan mood-ku sendiri.

"Nin?"

Aku menatapnya seolah bertanya 'kenapa'.

Hai, Kamu... [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang