Aku tersenyum memandangi pria dihadapanku yang sejak tadi disibukkan dengan laptopnya. Ia membaca tulisanku sambil sesekali tersenyum mengejek.
"Jadi, tokoh di tulisan lo itu, namanya disamarkan atau enggak?" Tanyanya lalu menutup laptopnya perlahan, ia sudah selesai membaca.
Aku mengangguk, "Iya."
"Kenapa gak pakai nama asli tokohnya aja?"
"Nanti yang ditulis malah ngerasa terganggu kalau pakai nama aslinya, Fi." Kataku mencoba menjelaskan.
"Gue enggak."
Aku membalasnya dengan tawa tertahan, ia memang selalu berbeda.
"Pokoknya, kalau nulis tentang gue, namanya gak boleh disamarkan!" Ucapnya tegas.
"Gue gak janji."
"Kenapa?" Tanyanya heran.
"Kalau kedepannya kita gak sama-sama lagi? Kalau kedepannya lo dan gue punya kisah masing-masing, apa itu gak mengganggu buat pasangan kita masing-masing nantinya?"
Ia diam, terlihat dari raut wajahnya bingung mau membalas ucapanku.
"Kecuali kalau kita terus sama-sama." Lanjutku lalu disambut senyuman menggoda pria dihadapanku.
"Gue suka kalau lo udah banyak omong kayak gini." Lutfi memandangiku seolah aku itu objek paling menarik untuk matanya.
"Gue emang banyak omong, lo aja yang baru tau!"
"Gue suka kalau lo banyak omongnya sama gue, bukan sama orang lain."
"Tapi gue gak suka kalau gue gak banyak omong di depan orang lain."
"Egois sih lo!"
"Emang!"
"Ya nyantai dong!"
"Lo yang gak santai, ngaca dong!"
"Apaan, lo tuh!"
"Kenapa sih lo selalu ngajak ribut?" Nada bicaraku melemah, raut wajahku menunjukan keseriusan.
"Lo lucu kalau lagi marah, Nin." Balasnya lembut.
"Tapi, kalau kita setiap tatap muka selalu berantem kayak gini, kapan kita kayak pasangan lain diluar sana?" Kataku kesal, mengingat teman-temanku yang sering memamerkan kemesraan bersama pasangannya masing-masing.
"Mau sama kayak mereka?"
Aku mengangguk, "Iya."
"Tau gak?"
"Apa?"
"Beda itu asik."
"Tuh kan, lo mah gitu!"
"Iya, iya. Pulang sekolah kita jalan, ya?" Ajaknya dengan nada suara lembut serta senyuman khas miliknya.
"Kemana?" Tanyaku, masih pura-pura kesal.
