Arka melepaskan tangan kasar Dean dari pergelangan tanganku. Ia menatapku lembut, "Lo gapapa?" Tanyanya.
Aku sedikit tersentak, Arka sudah mengubah kembali gaya bicaranya menjadi Lo-Gue, "Gue gapapa."
Arka tersenyum dan mengangguk, kemudian menatap tajam Dean, "Berani kok sama cewek, banci lo?!" Ia tertawa meremehkan.
Aldean tak terima dengan perkataan Arka barusan, ia menarik kerah seragam pria itu, dan memberikan pukulan-pukulan tanpa henti. Arka juga tak mau tinggal diam, mereka saling melempar tinju.
"Arka! Dean! Udah!" Berkali-kali aku berteriak meminta mereka berhenti, mereka sama sekali tak mendengarkanku. Sialnya, setiap orang yang lewat tak peduli, apalagi ingin menengahi.
Aku menghela napas lelah, kehabisan cara untuk menghentikan aksi bodoh dua pria dihadapanku ini.
"Bodoh." Cibir Lutfi, entah sejak kapan ia sudah berada di tempat yang sama dengan aku, Arka, dan Dean.
Mendengar cibiran tersebut, Arka dan Dean kompak berhenti saling memukuli dan menoleh pada Lutfi dengan tatapan penuh amarah. Aku tau apa yang selanjutnya aku terjadi, aku tak mau pukulan-pukulan tadi malah melayang ke wajah Lutfi.
"Kalau sampe lo berdua nyentuh Lutfi, gue bakal benci lo berdua seumur hidup!" Ucapku tegas.
Arka diam. Kemudian menarik tanganku pelan, "Pulang yuk, Nin!"
Aku hanya menurut. Aku sudah benar-benar lelah hari ini. Aku hanya ingin segera sampai di rumah dan mengistirahatkan tubuhku.
Diperjalanan pulang, kami hanya saling diam, seolah hanya diam yang dapat menenangkan semuanya sampai akhirnya Arka memulai pembicaraan.
"Nin, maafin gue ya. Gue denger dari Dean lo udah putus sama Lutfi?"
Bukannya menjawab pertanyaan Lutfi, aku malah membahas hal lain, "Lo sama Dean temenan, tapi kok saling mukulin sih tadi?"
"Harusnya lo udah tau jawabannya, dari dulu gue gak pernah bisa liat lo digangguin sama siapapun."
"Ka, gue udah bukan Anin pacar lo lagi. Perasaan gue udah bukan milik lo lagi. Lo jangan terlalu menaruh harapan ke gue, ya?"
"Nin, gue selalu siap merjuangin lo dari awal lagi."
"Gue yang gak mau diperjuangin, Ka."
"Gue janji, semua kesalahan yang gue lakuin, gak akan pernah gue ulangi lagi."
Aku tersenyum, sebenarnya aku merindukan berbincang dengan pria ini, "Arka, sebelum kita jadian, kita sahabat, kan? Kita masih bisa sahabatan sekarang."
"Gue tau. Lo bukan orang jahat, mau bagaimanapun lo perlakuin gue, gue tau lo tetap Anin yang gak pernah bisa liat cowok ganteng kayak gue mohon-mohon gini, kan?" Ujar Arka mulai memberanikan diri untuk bercanda.
Aku tertawa, tawa yang mungkin sudah lama tak Arka dengar, ia pasti amat merindukan tawaku.
Lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, Arka selalu mematuhi peraturan lalu lintas, maka kami berhenti sampai lampu berwarna hijau.
Aku terkejut, di seberang sana ada sosok pria yang amat ku kenali bentuk wajahnya, postur tubuhnya, tapi ada sesuatu yang amat menyita fokusku. Ia tak sendirian, Lutfi bersama seorang wanita di bocengannya.
"Nin, bengong aja, liatin apa?" Arka mengikuti arah tatapanku kemudian tersenyum kecil, "Maaf Nin, gara-gara gue ya?"
"Gak ada yang bisa gue salahin atas kesalahan yang sengaja gue ciptain sendiri." Ucapku mencoba tak ambil pusing.
"Kalo aja gue gak tiba-tiba datang lagi ke hidup lo, hubungan lo sama Lutfi bakal baik-baik aja, iya kan, Nin?"
"Ya. Dan andai gue gak menganggap kehadiran lo waktu itu, gue sama Lutfi gak akan kayak gini. Jadi, memang gara-gara gue, bukan lo."
"Boleh gue nanya?"
Aku mengangguk, "Tanya aja."
"Lo cinta banget ya sama Lutfi?"
Aku menghela napas, "Gue gak tau, Ka. Gue gak paham sama diri gue sendiri."
"Tapi, lo ngerasa kehilangan kan?"
"Bangetlah."
"Lo kangen gak sih sama perlakuan-perlakuan kecil dia buat lo?"
"Iya."
"Dan lo masih ragu sama perasaan lo sendiri? Nin, gue aja bisa paham kalau lo memang cinta sama Lutfi. Kenapa lo gak bisa memahami diri lo sendiri?"
"Terkadang ada beberapa hal yang kelihatannya mudah untuk dipahami, tapi kenyataannya gak begitu, Ka. Banyak hal yang buat gue ragu sama perasaan gue sendiri. Gue boleh jujur sama lo?"
"Dipersilahkan, Nin."
"Selama gue sama Lutfi, gue masih sering dihantui bayang-bayang lo."
"Kalau sekarang?"
"Perlu banget gue jawab?"
"Maaf, maaf, yaudah lanjut."
"Kalau waktu itu gue gak mutusin hubungan gue sama Lutfi, gue jahat banget tau, Ka. Gue jadian sama Lutfi sedangkan gue masih belum bisa melepas lo seutuhnya."
"Maaf, ya.."
"Ka, stop minta maaf untuk kesalahan yang gak lo lakuin."
"Oke."
"Jadi, mau gak mau gue harus mutusin Lutfi dan nyelesain masalah hati gue sama lo. Gue gak mau menyakiti Lutfi lebih jauh."
"Nin, sadar gak?"
"Apa?"
"Dari semua pengakuan lo barusan, itu udah benar-benar membuktikan seberapa pentingnya Lutfi buat lo."
"Maksudnya?" Aku bertanya bingung.
"Lo cinta sama Lutfi, jangan sekali-kali bantah perasaan lo sendiri."
Aku diam, tidak tahu mau merespon seperti apa ucapan Arka barusan.
"Woi bengong aja, gak mau turun? Betah banget dibocengan gue."
Aku menoleh sekitar, sialan. Sudah di depan rumah rupanya. Aku turun dari motor Arka, melepaskan helm kemudian mengembalikannya pada pria itu.
"Ka, makasih ya buat hari ini. Buat semua ucapan lo yang menyadarkan tadi."
"Pikirin lagi, Nin soal Lutfi. Kalau kata Nathan, perasaan juga ada kadaluarsanya."
"Iya, makasih. Hati-Hati ya!" Aku melambaikan tanganku pada Arka dan segera masuk ke rumah dengan senyum merekah.
Arka selalu mampu merubahku.
___________
Palembang, 11 nov 2019
850 words
To be continued...
