Pagi-pagi sekali aku sudah berdiri di depan gerbang rumahku, menunggu kehadiran si cowok nyebelin, Lutfi. Ya, semalam ia mengajakku untuk menemaninya, entah kemana. Yang jelas, ia bilang ini akan jadi hari yang sangat menyenangkan.
Akhirnya, setelah ribuan purnama, pria itu datang juga. Tanpa menunggunya mengucapkan sepatah katapun, aku sudah lebih dulu naik di boncengannya.
"Pakek helm dulu!" Ia memberikan helm yang biasa kukenakan.
Aku segera memakainya kemudian menepuk keras pundak Lutfi, "Buruan jalan!"
Ia melajukan motornya dengan kecepatan standar, "Buru-buru banget!" Protesnya.
"Bukan gue yang buru-buru. Lo yang telat hampir setengah jam!" Omelku.
Ia terkekeh, "Iya, iya, maafin gue."
"Ya karena gue emang titisan ibu peri yang baik hati, lo gue maafin."
"Sebahagia lo aja."
Aku tersenyum kecil, "Lo mau bawa gue kemana hari ini?"
"Gak bisa gitu ya diem aja, nurut. Surprise gitu biar romantis!"
"Ya kan gue penasaran aja, gak mau ngasih tau juga gapapa kali, gue gak maksa." Balasku sebal.
Lutfi menghentukan motornya di tempat yang sangat luas, dengan beberapa barang yang sangat besar dan ditutupi dengan kain berwarna hitam. Tunggu dulu, sepertinya aku tau tempat ini.
"LUTFI, LO NGELINDUR?! NGAPAIN ANJIR NGAJAKIN GUE KE PASAR MALAM PAGI-PAGI BUTA GINI?! GILA SENDIRIAN AJA SIH JANGAN NGAJAKIN GUE!"
Lutfi menutup kedua telinganya, "Jangan teriak-teriak, lagian siapa yang ngajakin lo ke pasar malam sih?"
"Lah ini? Ini pasar malam, lo kira gue gak tau?!" Aku tetap teguh pada pendirianku.
Lutfi memberi isyarat untuk diam, ia menggenggam tanganku, membawaku berjalan sedikit ke arah belakang, ternyata banyak sekali penjual makanan disana. Dan itu, membuatku lapar.
"Mau makan apa?" Tanya Lutfi pelan.
"Hm...Apa ya?" Aku mengetuk-ngetuk jari telunjuk di daguku, dengan melihat sekeliling.
Lutfi hanya tertawa kecil melihatku, "Martabak telur aja?" Tawarnya.
Aku mengangguk semangat, "Itu makanan favorit gue!"
Lutfi membawaku ke tempat penjual martabak, sepertinya si bapak penjual masih keturunan India.
Kami duduk berhadapan, aku dapat melihat dengan jelas pria dihadapanku ini, ternyata ia memang tampan.
"Fi?"
"Hm?"
"Cakep."
"Siapa?"
"Lo?"
"Gue?"
"Iya!"
"Ya emang." Ujarnya sombong.
"Tapi bohong!" Balasku kemudian tertawa sangat keras membuat orang-orang memperhatikanku, tapi lagi-lagi aku tak pernah peduli.
"Lo juga cantik." Ucap Lutfi tiba-tiba.
"Tapi bohong juga?" Tebakku masih tertawa, tapi kali ini lebih anggun.
"Nggak." Balas Lutfi santai.
"Fi?"
"Hm? Apa? Gue cakep? Tapi bohong? Hah? Apalagi?"
"Kalo lo bilang gue cantik, gue harus bilang makasih apa enggak?"