Aku sedang membaca novel favorit-ku di dalam kelas, saat ini semua anak-anak tengah berada di kantin. Ya, ini sudah jam istirahat. Renata juga sudah beringsut pergi untuk mengisi perutnya.
Saat sedang asik-asiknya membaca novel, suara nyaring milik Renata menggema keras di telingaku, "Nin! Buruan ke kantin!" Teriaknya histeris.
"Gue gak laper." Jawabku cuek.
"LUTFI BERANTEM SAMA DEAN!" AYO!" Kali ini Renata menyeretku tanpa izin.
Aku melepaskan tangan Renata yang menarikku, aku berlari mendahuluinya. Tidak, aku tidak pernah mempermasalahkan kalau Lutfi bertengkar, tapi ini dengan Dean.
"Nin, sabar, tungguin!" Renata mengejarku di belakang.
"Dean itu cowok gila, Re! Gue gak mau Lutfi sampe ngebunuh dia gara-gara sebel dengerin omongannya yang nyaris gak pernah ada faedahnya!"
Sekarang, disinilah aku berada. Di kantin yang sudah semakin sesak. Orang-orang berebut untuk dapat barisan paling depan untuk menonton dua pria yang sedang saling memukuli tersebut.
Aku membelah kerumunan, hingga akhirnya sampai di depan mereka. Melihatku berdiri disana, Lutfi melepaskan pria bajingan yang hampir mati itu.
"Loh? Kok berhenti?" Tanyaku.
Lutfi terlihat gelagapan, "Lo-Lo gak marah kalau gue berantem?"
Aku menggeleng tanpa dosa, "Kalau yang lo pukulin cowok goblok, cowok gila, cowok brengsek dan cowok gak berperasaaan kayak dia, gue gak akan marah. Asal jangan sampe mati, Fi."
"Emang kenapa kalau dia mati?"
Aku sedikit berfikir, "Ya, gapapa juga sih. Tapi, lo bakal masuk penjara nanti. Emang lo mau? Lagipula, gue gak mau pacaran sama pembunuh."
Lutfi terkekeh, wajah dinginnya menghilang begitu saja, ia kembali menghangat. Ia mengusap kepalaku penuh sayang, kemudian mengarahkan pandangannya ke pria yang tengah meringis kesakitan di bawah, tatapannya kembali menajam, "Lo beruntung pacar gue dateng. Kalo nggak, lo gak akan bisa berdiri selama dua belas hari!"
Orang-orang yang menonton berseru kecewa, salah satunya Renata.
Cewek itu menatap kecewa, "Yah, padahal belum ada yang mampus."
"Re, balik!" Perintahku.
"Ke rumah?" Tanyanya bingung, sebelum akhirnya ia melanjutkan, "Eh, tapi belum bel pulang, Nin? Apa gak kena marah?"
"Ke kelas!" Teriakku kesal.
"Lo mau kemana?" Ia bertanya lagi, benar-benar banyak tanya.
"Gue mau ke uks."
Renata menatapku khawatir, "Lo sakit? Lo sih tadi gak mau gue ajak ke kantin, pasti maag lo kambuh ya?"
Disebelahku, Lutfi tertawa geli, "Anin mau ngobatin luka gue, ya kan, Nin?"
Aku mengangguk, sudah habis tenaga untuk berbicara.
Renata membulatkan mulutnya sambil mengangguk-angguk, "Mau gue bantuin nggak? Gue gak keberatan."
"Gak usah." Lagi-lagi Lutfi yang menjawab.
"Please, gue janji gak akan gangguin kalian. Habis ini pelajaran matematika, gue males." Ia menatapku dan Lutfi bergantian dengan mengedipkan matanya berkali-kali.
"Yaudah, iya." Aku mengalah.
Renata bersorak senang, "Ayo!" Ia memimpin berjalan di depan.
Aku dan Lutfi kompak mengikutinya di belakang, "Nin, udah berapa lama temenan sama itu anak?"
