18 : Eh?

42 4 0
                                    

Sore ini hujan mengguyur kotaku, bel pulang berbunyi, siswa/siswi di sekolahku berhamburan keluar kelas untuk segera pulang dengan menerobos hujan tentunya.

Aku? Sedari tadi aku mencoba untuk memesan ojek online. Namun, tidak ada satupun driver yang mau mengambil orderanku.

Aku menghela napas pasrah, "Yaudah deh, tunggu hujan reda aja."

"Tapi, gue udah di jemput, Nin. " Kata Renata sambil melihat jam tangannya.

"Yaudah, lo duluan aja deh kalau gitu, gapapa."

"Gue yang kenapa-kenapa kalau ninggalin lo sendirian disini. Lo kira aman?"

"Ya, terus gimana dong, Re?"

"Tadi pagi abang gue takut telat sih, jadi dia naik motor. Kan kalau mobil, lo bisa nebeng."

"Gimana dong, Re?"

"Bentar. Gue mikir dulu."

Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah, "Yaudah deh, Re. Lo pulang duluan aja. Nanti gue minta jemput kakak gue deh."

"Beneran, Nin?"

"Iya. Nanti lo abis di mutilasi sama abang lo gara-gara kelamaan nunggu. Mau?!"

"Yaudah deh, gue duluan ya, Nin." Renata melambaikan tangannya padaku, kemudian beberapa menit setelahnya, perempuan itu sudah menghilang dari pandanganku.

Aku dengan segera menelepon kakakku, tapi nomornya tidak aktif.

Baiklah, Anin. Tunggu sampai hujan reda.

"Heh!"

Aku memutar badanku ke arah sumber suara, "Eh, kenapa?"

"Kenapa lo belum pulang jam segini?" Pria itu menunjukan jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukan pukul lima sore.

"Masih hujan." Jawabku singkat.

"Sekolah udah gak ada orang. Pulang bareng gue aja."

"Gak usah deh."

"Kenapa? Gue cuma mau bantuin lo, Nin."

Ya. Pria itu tidak lain adalah Lutfi.

Aku tertawa kecil, "Gue kirain peduli. Ternyata cuma sebatas memanusiakan manusia aja ya, Fi?"

"Gak usah bahas itu dulu, Nin. Pulang yuk sama gue."

"Gak usah, Fi. Gue tunggu hujan reda aja."

"Gue bawa jas hujan."

"Gue bisa pulang sendiri nanti pas hujannya udah reda."

"Lo yakin hujannya bakal reda? Gue rasa sih bakalan awet."

"Kok lo nyebelin?" Protesku.

"Yaudah, makanya ayo pulang." Ia menarik tanganku menuju motor miliknya.

Aku hanya menurut. Daripada ditinggal sendirian di sekolah, bukankah itu menyeramkan?

Selama di perjalanan, kami hanya saling diam. Ditemani suara hujan dan bunyi klakson dari orang-orang yang ingin cepat sampai ke rumah masing-masing.

"Fi?" Aku mencoba memulai percakapan, setidaknya berbincang dengannya hari ini bisa menjadi obat rinduku selama ini.

"Kenapa?" Ia sedikit berteriak, suara hujan tak mau mengalah.

"Lo benci gak sama gue?" Aku menyamakan volume suaraku dengan pria itu.

"Hah? Apaan?"

"Lo benci ya sama gue?" Ulangku lebih keras.

Hai, Kamu... [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang