Day 3 - Kosan Indah

709 57 8
                                    


Perjuangan cinta tanpa batas, mengharap pengorbanan yang berbalas.

Tiga hari setelah piknik dadakan atau apalah itu namanya. Penghuni kos kembali pada aktivitas masing-masing; ada yang fokus belajar biar mendapatkan nilai semester yang baik, ada juga yang fokus memperjuangkan cinta. Mereka semua merasakan jatuh bangun, bertepuk sebelah tangan bahkan dinotice saja tidak. Sayangnya, yang memperjuangkan cinta hanya anak kosan pria. Dasar bucin.

Beruntungnya Jun & Hao, mereka sama-sama tengah memperjuangkan cinta. Dasar kalian berdua bucin.

Teras lantai dua kosan mereka menjadi tempat bertemunya. Jelas mereka memiliki cara romantis sendiri untuk ngobrol. Saat siang tadi, sehabis pulang kuliah Jun iseng membuat telpon kaleng. Itupun juga tidak sengaja karena Jun menemukan kaleng susu bekas di pojokan garasi, entahlah sepertinya kaleng bekas susunya Uji karena anak ini memang sedang berusaha meninggikan badan. Biar tidak diejek kecil, apalagi sama Hoshi dan tepatnya biar bisa membalas menjitak kepala Mingyu.

Jun diteras kosan pria, begitupun Hao di teras kosan putri.

"Hao sudah makan malam?" Jun malu-malu bertanya, rasanya seperti sedang video call.

"Sudah. Gege sudah makan? Jangan makan mie terus ya seperti Hoshi" anak-anak kosan putri tahu stok makanan wajib gank kardus, bahkan mereka sering mengejek 'Pabrik Mie' karena mau bagaimana pun dapur mereka isinya didominasi mie instan.

"Iya, makasih ya Hao udah perhatian sama Gege" bilang begitu saja membuat Jun malu, seketika ia bergerak turun bersembunyi di balik pagar teras. "Nanti, jangan tidur malam-malam ya, besok pulang kuliah Gege jemput boleh?"

"Boleh" tanpa basa-basi, Hao menjawab dengan lantang.

"Temani Gege makan malam di luar ya"


###


Di lain tempat.

Seokmin atau Dike atau sebut saja ia Kuda. Sedang rajin, tapi kenyataannya malas harus terpaksa pergi fotocopy catatan teman kuliahnya. Malam, tapi setidaknya belum terlalu malam yang mana Si Kuda bisa saja ditawar om-om.

Mengayuh sepedanya dengan santai--sesantai seseorang yang dari bentuk tubuhnya Dike kenal. Mendekatkan sepedanya pada seorang gadis, berjalan seorang diri dalam kegelapan. "Wahai Shua Nuna yang cahayanya mengalahkan bulan dan bintang" seratus persen Dike tidak salah, karena hapal betul lekuk tubuh dan cara berjalan Shua Nuna. Eits, jangan berpikiran yang iya iya dulu, itu karena Dike selalu memperhatikan gerak-gerik Shua dalam diam.

Kalau saja bukan karena hal mendesak yang mengharuskan ia pergi ke minimarket, mana mau Shua keluar malam-malam sendirian. Hal mendesak; menghabiskan uang jajan membeli makanan apa saja untuk stok di dapur kosan, maklum holkay.

"Dike? Sedang apa malam-malam di sini? Olahraga?" Senang, bukan hanya sekedar ada teman jalan balik ke kosan. Tapi, juga karena senang melihat wajah Dike, Si happy virus.

"Habis fotocopy catatan kuliah" menunjukkan plastik yang tergantung pada kemudi sepeda. Seokmin lebih senang meminjam lantas memfotocopy nya, lebih praktis katanya. Karena katanya saat jam belajar mengajar adalah waktu untuk menyimak, sayangnya itu adalah kenyataan yang nihil sepanjang jam kuliah Seokmin sibuk mengutak-atik ponselnya menunggu pesan tak terduga dari Shua Nuna, dan memori ponsel nya sudah penuh jadi tidak bisa foto materi yang tengah diajarkan dosennya.

Shua hanya mengangguk, ia tahu kalau Dike malas-malasan saat jam kuliah. Shua tahu dari Hao--bukan karena memaksa temannya menceritakan aktivitas Dike saat di kelas, melainkan Hao senang membicarakan kejelekan beberapa anak kos putra yang sekelas dengannya.

"Ng..... Nuna, ayo naik. Kita pulang bareng" pinta Dike malu-malu

"Eh? Dimana?" sepedanya Dike itu sepeda gunung dan tidak ada boncengannya.

"Diatasku" meralat cepat, maklum kalau sudah ngomongin atas otaknya jadi kemana-mana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Diatasku" meralat cepat, maklum kalau sudah ngomongin atas otaknya jadi kemana-mana. "Duduk di depan" menepuk-nepuk body sepeda.

"Ng...Dike, bukannya aku tidak suka dengan tawaran mu. Tapi, karena aku kurus jadi aku takut bokongku sakit" lebih baik berkata jujur apa adanya, dari pada akan berakhir penyesalan.

Kuda hanya bisa menahan tawa. Untung saja malam ini ia peka. Turun dari sepedanya, menuntun dan memilih berjalan berdampingan menemani Shua Nuna sampai kosan.


###


"Kenapa kosan depan tutup pintu terus sejak siang?" Seungcheol sedang dirundung rindu dengan salah satu penghuni depan kosannya. Sejak sore ia duduk pada sebuah sofa yang menghadap jelas pada pintu kosan, dimana depannya juga terlihat pintu kosan putri. Bahkan ketika Sungcheol harus beranjak sejenak dari duduknya tak boleh ada satu orang pun yang menempati.

"Telpon saja Hyung orang yang kau maksud, kalau tidak berani kan masih bisa chat" saran Dino yang selalu kesal melihat tingkah hyung-hyungnya jika sudah berkaitan dengan cinta.

"Makanya Hyung jangan terlalu kejam mempermainkan hatinya. Suka bilang suka, rindu bilang rindu. Kalau kelamaan nanti keburu diambil orang" sok mengajari, siapa lagi kalau bukan hamster kosan yang sedang asik main game console dengan Vernon.

"Ngaca woi! Makanya kalau ngaca melek jadinya keliatan" Mingyu yang datang dari dapur lantas menimpali. "Memangnya udah berhasil meluluhkan Si minimalis itu?" duh ini kalau Uji dengar pasti akan ada gitar melayang.

"Hidup kalian rumit sekali. Bukannya semakin dewasa, malah semakin pengecut saja" berangsut Dino berjalan menuju kamarnya. "Video call dengan Jeonghan nuna ah~, aku merindukannya"

"Ya! Sialan Dino!" emosi dan cemburunya terpancing, membuat Seungcheol refleks melempar bantal sofa ke arah Dino--hanya saja kalah cepat karena si bontot sudah berlari menghindar.

"Kalau saja bisa tercipta kembali, gua mau jadi Dino rasanya bisa disayang-sayang sama anak kosan putri enak" jadi, ceritanya ada yang tengah menyesali dirinya karena kalah saing dengan Dindin—sebut saja dia Seungcheol manusia kardus.

"Yakin? Gak nyesel? Cuma bisa disayang tanpa memiliki emangnya mau, Hyung? Gua sih ogah" si hitam ini memang terkadang pintar "Lebih baik buat ia menyayangi karena kita yang berusaha apa adanya. Bukan berusaha seperti orang lain, itu bisa aja sosok orang lain yang dia lihat bukan kita" mengambil posisi duduk di sebelah Seungcheol. "Makanya, gua mau menjadi Mingyu, bukan Jun" berbisik yakin dan mantap pada Hyung kardusnya. Ini rahasia mereka berdua.

"Gua suka gaya lu, tem" menepuk-nepuk pundak Mingyu, memberi semangat. "Trus enaknya gua menjadi Seungcheol atau Ayahnya Jeonghan? Karena lu tahu kan.... Anak perempuan itu pasti menjadikan Ayahnya sebagai contoh dan panutan, dan pastinya menginginkan sosok pendamping yang seperti Ayahnya"

"Sekalian aja lu jadi emaknya Jeonghan. Percuma gua kasih saran" sudah penuh keyakinan memberi semangat, pada akhirnya hyungnya memanglah bodoh.

Mingyu mengubah posisi duduknya memunggungi Seungcheol, meraih ponsel dari saku celananya dan mengirim pesan untuk Wonu—sekedar menanyakan kabar untuk hari ini, karena setiap hari adalah wajib untuk Mingyu 'Selalu jadilah air yang terus mengisi cangkir, dan janganlah memberi ruang untuk air lain mengisi cangkirmu' Mingyu selalu berpesan pada dirinya. Sesibuk apapun ia selalu berusaha menyempatkan waktu walau hanya sekedar menanyakan kabar Wonu, karena hakikatnya wanita maupun pria akan mudah tersentuh jika ada seseorang yang memberikan perhatian, dan wanita akan mudah jatuh hati pada seseorang yang begitu perduli pada dirinya--terlebih untuk saat ini kondisi hati Wonu sedang terluka. Dan Mingyu berambisi ingin menjadi obat untuk lukanya.

{Seventeen} KOS-AN SEBONG GG. CARATS NO. 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang