Bab 20

651 86 0
                                    

Clara: Gue dosa nggak ya, soalnya pernah beli jus Zara yang bahannya didapet dari nyuri.

Aldi: Untung gue belom pernah beli.

Daffa: Eh Aldi, tapi lo pernah minta jus ke gue. Mana sedotannya dibalik dulu. Sok suci lo.

Aldi: 😒😒

Vinta: Yang penting sebelum minum nggak lupa doa. Dosanya luntur.

Gilang: #2019VintaJadiUstazah

Clara: Apa sih kalian malah ngebanyol.

Bagas: Wahai teman-temanku, pagi-pagi udah pada rumpi kek kalian itu manusia paling bener aja.

Bagas: Yang lagi diomongin juga ada di grup ini. Remember?

Clara: Eh, nggak maksud gitu. Zaraaaa maapin gue.

Zara membaca berulang-ulang balon chat dari teman-temannya itu. Ingin sebenarnya ia melontarkan balasan, tapi diurungkan karena rasa malu mendominasi.

"Kamu kenapa belum berangkat sekolah?"

Zara mengangkat wajahnya yang menunduk pada layar ponsel ke arah mamanya. "Aku hari ini pengin bolos aja."

Terlihat mama Zara mengernyit samar. Jika kondisinya memungkinkan, pasti wanita itu akan mengutarakan kalimat keberatannya. Zara sendiri merasa menyesal karena sudah mengatakan ide konyolnya. Baru saja sehabis subuh tadi ia dimarahi papanya gara-gara sudah berinisiatif pergi dari rumah, sekarang ia dengan percaya dirinya malah ingin menambah daftar kenekatannya.

"Papa kemarin udah jelasin ke Pak Putu kalau kamu benar-benar jualan dengan modal halal. Jadi kamu harus nunjukin image baik sebagai bukti kalau kamu emang nggak bandel. Bolos bukan salah satu caranya."

Zara sedikit tersentuh karena diberi nasihat oleh mamanya. Tapi untuk saat ini, ia sungguh ingin menjauh dulu dari lingkungan sekolah. Meski papanya sudah memberi keterangan bahwa ia tidak terlibat dalam aksi pencurian toko pada Pak Putu, tapi kabar burung yang mengatakan sebaliknya sudah terlanjur menyebar ke semua siswa.

"Kalau aku sekolah, yang jaga mama siapa? Papa kerja, Kak Nafis udah balik ke kampus dan pastinya sibuk, Kak Anin udah dipastiin bakal mual kalau dia di sini. Secara di klinik bau obat-obatannya kuat banget."

"Terserah. Kalau ada telepon dari pihak sekolah lagi, kamu urus sendiri. Awas kalau ngerengek minta tolong papa."

"Ma, istirahat, ya. Jangan mikir yang berat-berat dulu. Aku di sini siap ngerawat mama sampai sembuh."

Mama Zara melarikan tatapan matanya pada sebingkai lukisan yang ada di dinding sebelah kanannya. Ia tidak mau melihat Zara yang tampak tulus saat mengatakan hal tersebut. Ketulusan dari mulut seorang anak yang mengaku kurang mendapat kasih sayang membuat hatinya perih.

Bukannya benci, anakku yang satu ini justru menjadi buah hati yang bisa diandalkan di saat-saat seperti ini.

***

"Ayo dong semangat nyanyinya!"

Di salah satu sudut lapangan upacara itu, tampak seorang siswi mencak-mencak di hadapan tim paduan suara kelasnya. Belum lagi tiga siswa jangkung yang ditunjuk sebagai pengerek bendera, mereka juga sedang mengeluh karena lelah dan kepanasan.

"Istirahat dulu kali, Gas," celetuk Fiki yang disetujui oleh lainnya.

"Iya, gue capek. Suara udah serak gini dibilang nyanyi nggak pakek semangat," keluh Tamara. "Mending paduan suranya latihan di kelas aja, deh. Sama aja, kan?"

Bagas memandang lelah pada teman-temannya yang pintar membuat tawaran. "Kalau di kelas, suara kalian bisa ganggu yang lagi pelajaran. Di lapangan aja, kalian jadi bisa menyesuaikan diri nyanyi di ruang terbuka mulai awal.

"Kalau penampilan kita pas upacara nanti nggak maksimal, minggu depan kelas kita disuruh jadi petugas lagi. Emang mau diremidi?"

Daffa menggeleng. "Cukup matematika aja yang remidi."

"Ya udah, deh. Istirahat dulu."

Kata-kata Bagas yang dinanti-nanti akhirnya terucap juga. Semua siswa X-4 pun menghambur ke beberapa bawah pohon palem yang tumbuh mengelilingi lapangan upacara.

Hana menghela napas bosan. Ketidakhadiran Zara membuat dirinya kehilangan antusias. Apalagi tidak adanya keterangan dibalik absennya Zara makin membuatnya bingung.

Prama juga, sekarang cowok itu entah berada di mana. Yang pasti dia pasti sedang bersantai dalam persembunyian karena tidak mau mengikuti latihan upacara. Hana kecewa karena sebenarnya hari ini ia akan mengajak Zara dan Prama untuk duduk bersama, saling terbuka satu sama lain, menceritakan apa-apa yang harus diungkapkan agar masalah yang mendera hubungan pertemanan mereka bisa cepat teratasi.

Butuh kesegaran, akhirnya Hana pergi dari lapangan ingin menuju ke toilet untuk cuci muka. Saat melewati deretan kelas, Hana bisa melihat kelas lain masih pelajaran. Tidak lucu jika ia dan teman-temannya berpaduan suara di dalam ruangan. Bisa jadi siapa pun yang merasa terganggu akan mengomeli mereka.

"Kok sepi banget kelas ini?" lirih Hana saat melewati kelas X-7. "Oh ... iya, tadi kan pada olahraga. Pantes nggak ada orangnya."

Mulanya Hana santai saat akan melanjutkan langkah, tapi sekelebat gerakan yang tertangkap melelaui ekor matanya membuat Hana kembali memperhatikan keadaan X-7 dengan bersembunyi di bawah bingkai jendela.

Hana hampir saja berteriak, setelah ia intip dengan konsentrasi penuh ternyata di pojok kelas itu ada Pak Hartadi sedang menggeledah salah satu tas siswa. Buru-buru Hana berlari ke toilet sebelum petugas kebersihan itu menyadari ada orang yang melihatnya.

Di dalam salah satu bilik kamar mandi Hana sedang gelisah. Haruskah ia melapor pada guru tentang apa yang baru saja ia saksikan itu? Tapi sekarang ia masih belum punya bukti yang kuat untuk menjerat Pak Hartadi.

"Gue yakin tadi itu gerak-gerik mau ambil sesuatu. Kenapa juga tadi gue nggak ngerekam? Ck, bodoh!" Hana menjitak pelan kepalanya sendiri.

Meski ia sering mengambil barang yang bukan miliknya, tapi menyaksikan langsung pencuri yang melakukan aksi membuat Hana gemetaran juga. Apalagi yang ia ambil kan bukan benda-benda berharga, lain halnya dengan Pak Hartadi yang mungkin mengincar sesuatu yang mempunyai nilai jual tinggi.

"Cuma satu orang yang bisa gue mintain pendapatnya."

Akhirnya Hana menelepon seseorang yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya itu. Hana berharap dengan berbagi info ini, mereka bisa bekerja sama dalam mengungkap kelakuan buruk petugas kebersihan tersebut.

"Ngapain lo hubungin gue? Seharusnya lo juga ngejauh kayak si Zara. Lo bakal dicap maling juga kalau terus temenan sama gue. Udah sono, jangan ganggu gue."

Hana cepat-cepat menghentikan, "Prama! Jangan tutup teleponnya. Gue udah tau siapa pencuri yang sebenarnya."

"Hah?"

"Jangan hahah-hahah mulu. Lo di mana sekarang? Kita harus bicara empat mata."




***

Ada bab dari cerita ini yang error, nggak? Mungkin ada satu bagian yang isinya kepotong atau nggak bisa dibuka? Soalnya di aku keliatan baik-baik aja, sih. Tapi takutnya kalau dari akun wattpad teman-teman ada yg nggak beres mengingat wattpad sering gangguan. Kalau emang ada, aku akan up ulang bab itu. Makasih^^

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang