"Satu tunik buat Kak Fira, dua kaus raglan buat Kak Geri, tiga handsock buat Sanum, terus ...," Zara mengecek catatannya dan mencocokkan dengan bungkusan barang yang siap diberikan pada pemesan. "Oh, ini jaket sama kemejanya Kak Lani belum dibungkus," katanya baru menyadari lalu beranjak ke kamar untuk mengambil plastik kemasan.
Saat Zara meninggalkan ruang tamu yang kini terlihat sedikit berantakan karena di meja serta sofanya terdapat baju-baju pesanan, papa gadis itu yang baru dari lari pagi masuk dan fokusnya seketika terpusat pada keadaan ruangan.
Zara kembali ke ruang tamu dan tentu saja sedikit kaget karena ada papanya yang duduk di salah satu sofa. Tidak bicara banyak, Zara segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa lekas menyantap sarapan.
"Kemarin kamu pinjam uangnya Kak Nafis?"
Zara menoleh sepenuhnya pada papa. "Enggak. Aku masih ada uang simpenan. Lagian olshop aku minggu ini lumayan banyak pembeli."
Setelah mengatakan itu, Zara kembali mengemas sambil menahan senyum. Harapannya kali ini semoga saja papanya mengutarakan pujian terhadap kelarisan online shop-nya. Bisa mendapat pembeli lumayan banyak usahanya juga harus keras, tentu saja untuk itu Zara rajin promosi. Berlebihankah jika ia ingin diapresiasi oleh papanya sendiri?
"Bagus kalau lagi rame." Papa Zara berdiri, tampaknya bersiap berangkat kerja. Senyum yang Zara tahan sedari tadi bisa dikembangkan dengan lega sebelum mendengar lanjutan dari kata-kata papanya. "Berarti jatah uang jajan kamu bisa dikurangi buat nambah bayar biaya reparasi motor Kak Nafis."
Kalau saja Zara tidak ingat jika kemarin ia sudah menegur Beni yang berkata kasar, bisa jadi sekarang gadis itu lepas kendali dengan menyebutkan salah satu penghuni kebun binatang. Untung ia masih menjunjung tinggi sopan santun. Terlebih yang ada di depannya itu adalah orang tuanya sendiri.
"Papa lagi bercanda, kan?" gumam Zara sembari menatap punggung papanya yang semakin masuk ke dalam rumah dan hilang di belokan menuju kamar mandi.
***
Zara sampai di sekolah tepat saat jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Diletakannya barang pesanan yang harusnya segera diantar ke atas meja. Zara mendecak. Bukan tidak mau bersyukur, tapi jika larisnya dagangan membuatnya mendapat potongan uang saku, tentu saja Zara kehilangan semangat.
Zara memperhatikan Hana yang sedang piket membersihkan papan tulis dan sesekali bercanda dengan Fanya yang sedang mengisi ulang tinta spidol. Juga beberapa anak laki-laki di bangku depan yang menyanyi dengan iringan gitar Aldi. Semua tampak tidak memiliki beban. Mereka berangkat dari rumah dengan suasana hati riang. Sepertinya hanya ia yang sering datang ke sekolah dengan mood jelek. Huh, nasib.
Kemudian Zara merasakan ponsel yang ada di saku roknya bergetar. Setelah diperiksa, ternyata itu pesan dari Fira siswi kelas dua belas yang menanyakan pesanan.
Zara: Udah siap antar, bosku. Tunggu ya, dedek segera meluncur.
Mau tidak mau Zara harus bergegas menunaikan tugasnya sebagai owner toko daring yang profesional.
"Itu, Pak. Yang pakai bando merah."
Zara yang mendengar jika Daffa sedang menyebutkan ciri-cirinya pun menoleh ke arah pintu kelas. Di sana berdiri Pak Hartadi, petugas kebersihan di SMA-nya.
"Silakan masuk aja, Pak. Anggap kelas sendiri," lanjut Daffa yang segera dipukul oleh Bagas karena bercandanya tidak lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Com(e)fortable [END]
Teen FictionMenjadi anak kandung tapi tak disayang, menjadikan Zara bertekad membuktikan diri. Bersama dua sahabat, Hana yang memiliki rahasia dan Prama dengan pelik keluarga hingga dicap pencuri. Kedai jus merupakan pembuktian Zara. Bersama dua sahabat, ia ber...