Bab 8

848 101 7
                                    

Zara meghidupkan lampu sein saat akan belok ke kiri dari Jalan Anggrek menuju Jalan Kamboja. Setelah melewati satu pertigaan lagi ia akan sampai ke sekolah. Tapi baru saja ia berhasil berganti arah, dari kaca spion Zara bisa melihat sebuah motor milik seseorang yang dikenalnya justru belok ke Jalan Anggrek alih-alih lurus untuk menuju ke sekolah.

Zara menepikan motornya, kemudian dibukanya tas untuk mengambil ponsel. Matanya pasti tidak salah mengenali. Tadi itu jelas Prama membonceng Hana dengan gestur tubuh masing-masing seperti akan menghadapi sesuatu yang genting. "Mereka mau ke mana?" monolognya sambil menghubungkan sambungan telepon ke nomor Hana.

"Za, lo di mana sekarang?"

Zara terkesiap. Baru saja teleponnya diangkat, ia langsung disembur pertanyaan Hana dengan suara nyaring untuk mengalahkan bising kendaraan yang berlalu lalang. Ingin menjauhkan ponsel, tapi benda itu sudah terlanjur diselipkan di antara celah helm dan telinganya.

"Gue di pinggir jalan," jawab Zara sepolos kertas HVS.

"Ngapain di pinggir jalan? Lo berniat jadi gembel apa gimana?"

Zara mengembuskan napas frustrasi, entah sebenarnya Hana ini sedang panik atau sedang melawak. "Mau berangkat sekolah, dong. Ini gue baru aja liat lo sama Prama ke arah rumah gue, makanya gue nelepon. Kalian mau bolos bareng, ya?"

"Bolos bareng, your head! Lo di mana? Kita samperin."

Zara mengusap dada, pagi-pagi sudah dapat satu umpatan. Istemewa sekali, bukan?

"Di depan laundry. Masih deket pertigaan. Lo puter balik aja pasti langsung tau gue di mana."

Sambungan telepon tertutup. Zara lalu menilik jam analog di sudut kiri atas ponselnya. "Jam enam lebih empat puluh menit, wow!" pekik Zara sembari menoleh ke belakang, menanti kehadiran motor Prama.

Selang satu menit Zara merasa pundak kanannya ditepuk. Saat gadis itu menoleh, terlihat Prama melintas lalu memperlambat laju motor dan berhenti di depannya.

"Tadi kakak lo telepon gue, katanya lo ilang," lapor Hana pada Zara begitu motor Prama benar-benar menepi. "Bikin bingung aja."

Mulut Zara membulat. "Eh? Kak Nafis sampai telepon lo?" tanyanya setengah tak percaya. "Berarti kayaknya kakak gue lupa nggak ngabarin kalian kalau gue udah ketemu, hehe."

Prama geleng-geleng kepala. "Kita kelabakan elo malah santai banget haha-hihi kayak gitu," katanya menegur walau suaranya sedikit kurang jelas karena terhalang helm full face-nya.

Zara mengembangkan senyum. "Aih, gue dikhawatirin Bang Prama."

Hana memijat pangkal hidungnya. Lelah sendiri dengan Zara yang berusaha menghilangkan kepanikannya tapi jatuhnya anak itu justru membuat Hana ingin berkata kasar. "Udah, yuk, Pram. Kita lanjut ke sekolah."

Zara masih tersenyum saat motor Prama kembali melesat ke depan. "Kalian sahabat, saudara, dan penyemangat gue yang terbaik."

***

"Mantul, woi! Memanggil! Memang gila!" Clara sampai membuka jendela kelas untuk memperjelas jarak pandangnya. Sudah menjadi kebiasaan, sebelum bel masuk berbunyi ia akan duduk di meja di dekat jendela yang mengarah ke pintu gerbang untuk melihat siswa-siswi yang datang. Tak jarang ia juga merekam bila ada seseorang dihukum oleh guru piket karena lupa tidak memakai helm.

"Apaan sih, Ra! Heboh banget kayak ayam mau bertelur."

Clara menoleh dan mendelik pada Vinta yang berkomentar pedas. "Liat, bentar lagi lo juga akan histeris. Jilat tuh ludah lo," cetus Clara lalu tertawa jahat.

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang