Bab 23

633 80 4
                                    

Zara sampai di klinik tempat mamanya dirawat. Setelah memarkirkan motornya dengan benar, gadis itu lalu bergegas menuju kamar di mana mamanya sedang istirahat.

Sebenarnya hari ini ia ingin bolos sekolah sekali lagi. Tapi saat mendapat teguran dari papanya Zara langsung mengurungkan niatnya.

"Makanya kalau pilih teman itu yang bener. Sekarang gini kan, akibatnya? Kamu jadi bahan gosip, jualanmu jadi nggak jelas kelanjutannya. Papa juga malu karena dikira punya anak yang jadi komplotan pencuri. Jangan bikin gara-gara lagi dengan bolos kayak gini!"

Zara langsung menghela napas saat mengingat omelan papanya selepas salat subuh di musala klinik tadi.

"Tolong nasihatin adikmu itu."

Baru saja Zara membuka pintu kamar rawat, kalimat yang keluar dari mulut mamanya itu ia dengar sebagai penyambut kedatangannya.

Dalam sekejap Zara bisa segera merasakan hawa tidak enak. Karena Anin yang diajak mama bicara itu kini sedang menoleh ke arahnya dengan gestur tidak bersahabat, Zara rasa pasti mamanya sudah menceritakan semua masalah yang kini sedang melanda dirinya pada kakak pertamanya itu.

Tapi untuk menyingkirkan pikiran paniknya, Zara berusaha bersikap biasa saja dengan mengucap salam bernada santai. Kemudian dihampirinya sang kakak untuk bercium tangan. Setelah itu ia cepat mengalihkan perhatian dengan bertanya keadaan mama.

Tapi sepertinya hari ini adalah jadwalnya mendapat omelan secara berturut-turut. Sekeras apa pun ia mencoba mencairkan suasana, aura yang terasa tetap mengarah pada ketegangan.

"Ikut kakak ke luar bentar."

Zara mengatupkan bibirnya rapat. Diliriknya kakaknya yang sudah beranjak pergi tanpa berani berkutik. Gadis itu masih sibuk menata puing-puing keberaniannya yang masih berserakan.

Memang jika dibandingkan dengan Nafis, hubungannya dengan Anin terbilang cukup renggang. Hal itu dikarenakan saat SMA, Anin bersekolah di sekolah negeri yang jauh dari rumah hingga membuat kakak Zara itu harus indekos.

Anin memang pintar, maka Zara tidak heran jika kakaknya akan mengejar tempat pendidikan yang bagus. Kuliah juga di universitas terpandang. Tapi siapa sangka selepas mendapat gelar strata satu Anin justru langsung melepas masa lajang dan setelah itu diboyong suaminya yang bertempat tinggal di Kebayoran Baru.

Keterbatasan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama itu yang kini membuat Zara kikuk. Karena setelah sekian lama tidak berkumpul, sebentar lagi ia harus bicara berdua saja dengan kakaknya. Senang tapi juga bimbang. Kalau tidak segera menyusul keluar nanti disangka membangkang.

Akhirnya Zara berdiri dan menghampiri kakaknya yang sudah menunggu di luar. Mereka tidak langsung bicara, Anin mengajak Zara ke kantin klinik karena mengingat adiknya itu pasti belum makan siang.

Sembari menunggu gado-gado yang dipesan dihidangkan, Anin memulai ceramahnya. "Jauhin temen kamu yang suka bikin onar itu. Kalau terus bergaul sama dia bisa-bisa kamu ikutan jadi berandalan."

Zara spontan menggeleng. Meski kakaknya terlihat terperangah dengan penolakan yang ia berikan, hati kecil Zara tetap meyakinkan bahwa menentang permohonan kakaknya bukan hal yang salah. Zara sudah berjanji pada diri sendiri untuk mempertahankan persahabatannya.

"Mama terus kepikiran kalau kamu .masih berhubungan sama dia."

Zara terbelalak. Jika suasananya lebih ceria, maka sekarang ia akan mengembangkan cengiran bahagia. Anin bilang mama terus memikirkan dirinya, artinya saat ini ia sedang dikhawatirkan. Tapi mama tidak mau mengatakan sendiri, mungkin masih gengsi. Tak apalah, Zara cukup senang bisa mendapat perhatian.

"Za, dengerin kakak nggak, sih?"

"Aku denger. Tapi aku nggak bisa mutus pertemanan sama dia. Aku akan buktiin kalau kami nggak seburuk pandangan orang. Kakak tunggu aja." Zara mengepalkan tangan di atas meja panjang kantin.

"Kamu udah dihasut apa sih sama cowok itu? Bisa-bisanya kamu malah belain dia dibanding nurut sama kakak. Kalian ... pacaran?"

Zara yang diam-diam menghirup aroma sedap kuah soto yang menguar terbawa angin langsung memerosotkan pundak karena tebakan asal kakaknya. "Kesetiaan nggak harus dibuktikan dengan status pacaran," sahutnya penuh ketegasan.

"Kamu mau ke mana?" Anin mendongak saat Zara tiba-tiba berdiri bahkan di saat pesanan mereka datang.

"Ada sesuatu yang lebih penting daripada makan gado-gado."

Anin memijat pelipisnya. Adiknya itu sudah melarikan diri meninggalkan dirinya yang belum sempat mencegah. Tapi sebenarnya jika dibandingkan dengan rasa kecewa karena diacuhkan seperti ini, justru sekarang Anin lebih mengucap pengharapan pada bayi yang dikandungnya.

Itu tadi tantemu, Nak. Dia pekerja keras yang nggak mudah putus asa. Jadilah kuat seperti dia.

***

"

Kita harus gercep!"

Prama yang sedang ongkang-ongkang kaki di kolam renang milik Hana mengangguk. "Iya, baru aja kita selesai nyusun rencana selanjutnya. Lo udah nggak sabaran gitu. Besok kita lanjut, kok."

Zara menggertakkan giginya. Jawaban Prama yang terlewat santai membuatnya ingin mendorong cowok itu supaya jatuh ke dalam kolam yang berisi air setinggi dada orang dewasa tersebut. Kepanikannya ini kan juga untuk kebaikan Prama. Zara ingin segera mematahkan celaan yang tertuju pada mereka.

"Tadi rapat kecil kita sama Pak Hartadi berjalan lancar. Lo serahin aja sama kita."

Zara memandang Hana yang menanggapi dengan lebih optimis. "Semoga aja lancar semuanya. Nggak cuma pas di awal aja," ujarnya penuh harap.

"Betewe, lo bukannya jagain mama di klinik malah nyuruh kita kumpul di rumah Hana gini. Kita bisa bahas taktik buat besok di chat, kali." Prama menghampiri Zara dan Hana yang duduk tak jauh dari kolam.

Zara mengedikkan bahu. Seperti riak air kolam yang timbul akibat gerakan kaki Prama, saat ini hatinya juga sedang dipenuhi ombak-ombak kecil ketidaktenangan. "Udah ada Kak Anin. Lagian gue masih terus diomelin gara-gara kemarin bolos sekolah," jawabnya berbohong. "Mending ngejauh dulu sampek suasana damai."

"Cepet balik. Obat paling ampuh bagi orang tua yang lagi sakit itu ya cuma lihat anak-anaknya ngumpul ngerawat dia."

Zara tertegun saat ucapan Hana tepat mengenai sasaran. Benar juga, ia harus ada di samping mamanya terus. "Tapi pinjem duit, dong. Tadi gue ke sini nggak bawa dompet. Bensin gue kayaknya udah nipis banget."

Hana dan Prama serempak membuang muka. Zara sendiri hanya meringis, kebiasaannya melupakan barang penting saat buru-buru memang sulit diubah.

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang