Bab 21

631 82 0
                                    

"Lo beneran nggak tau kenapa hari ini Zara bolos?"

Hana yang sedang membuka pengait helm pun memandang Prama yang sudah menanyakan hal itu berulang kali dengan jenuh. "Jadi jawaban 'enggak' dari gue belum juga buat lo puas?"

Prama menggaruk kepalanya dengan serba salah. "Ya gimana ya, elo kan temen deketnya dia. Biasanya kalau ada apa-apa pasti bakal ngabarin, kan?"

Pertanyaan Prama hanya Hana anggap angin lalu. Pasalnya hubungannya dengan Zara memang sedang dalam keadaan tidak baik. Sejak hari pengakuannya itu, Zara belum menghubunginya lagi. Menghindarnya Zara padanya membuat Hana menyimpulkan bahwa teman baiknya itu memang ingin mengakhiri persahabatan.

Tapi Hana tidak mau menyerah begitu saja. Jika Zara ingin merenggangkan hubungan itu memang haknya, tapi Hana tetap ingin mengupayakan segala cara agar jalinan pertemanan mereka membaik lagi. Termasuk dengan mendatangi rumah Zara setelah pulang sekolah ini.

"Gue nggak ngajakin maneken challenge, woi! Diajak ngomong malah diem aja." Prama menggelengkan kepala sambil mulai mendekati pagar setinggi dada di hadapannya. Dilihatnya ada gembok yang mengunci, menandakan rumah sedang dalam keadaan kosong. "Lo coba telepon Zara, deh, Han. Tanyain sekarang dia ada di mana."

Hana ikut mengamati gembok yang diperhatikan Prama. Lalu gadis berambut pendek itu mulai menimbang-nimbang perintah yang dikatakan cowok jangkung di depannya itu.

"Kalau gue yang ngehubungin dia, nggak bakal diangkat," Prama menambahkan karena Hana masih saja diam tidak segera melakukan tindakan sesuai sarannya.

Hana tetap bergeming. Memang jika ia yang menelepon, Zara akan menerimanya? Kekhawatiran terus-menerus membayanginya. Hana masih belum siap menerima penolakan meski hatinya memberontak, menyuruhnya mengenyahkan rasa ragu itu.

"Lo nggak punya pulsa, ya?" Prama menyimpulkan sendiri karena Hana masih saja diam pada posisinya.

Hana akhirnya mengangguk, terpaksa berbohong. Biarlah bila saat ini ia diejek oleh egonya sendiri. Gadis itu tidak ingin orang lain mengetahui bahwa hubungan pertemanannya dengan Zara sedang retak.

"Ya elah, bilang kek dari tadi," tanggap Prama seraya merogoh ponselnya yang ada di saku celana. "Pakek hape gue, deh. Coba dulu kali aja mau ngangkat."

Hana menghela napas. Menelepon dengan ponsel siapa pun sama saja bila ia yang akhirnya harus bicara dengan Zara. Tapi jika ia tetap takut seperti ini, maka sama halnya ia juga sedang menjauh. "Makasih." Hana mendorong kembali ponsel Prama yang terulur padanya. "Pakek hape gue aja, tapi telepon lewat WhatsApp."

Prama mengangguk saja, "Terserah, deh."

"Halo ... kalian temannya Zara?"

Hana yang baru saja menempelkan ponsel ke telinga kirinya mengernyit pada seseorang yang tiba-tiba menghentikan motor matic di depannya. Prama juga tampak bingung tapi segera membenarkan pertanyaan tadi.

"Zara lagi nggak ada di rumah. Pasti lagi jagain mamanya yang sakit."

Hana segera mematikan panggilan yang sedang berlangsung di ponselnya mumpung belum ada jawaban. "Mamanya Zara dirawat di mana ya, Bu?" tanyanya tidak sabaran.

Seseorang yang ternyata adalah tante Maya itu cepat menjelaskan apa yang diketahuinya pada dua remaja itu. Kemudian tanpa menunggu lama lagi Hana dan Prama segera bergegas menuju klinik yang tidak jauh dari perumahan tempat Zara tinggal.

"Terima kasih, Bu. Permisi," kata keduanya hampir bersamaan.

***

"Kalau ditanya jawab dong, Mbak. Aduh, heran deh sama anak zaman sekarang. Diajarin sopan santun nggak sih, sama orang tuanya."

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang