Bab 25

645 83 0
                                    

Zara berjalan menuju kamar rawat mamanya dengan langkah lebar. Penangkapan Pak Hartadi yang berjalan lancar tadi memberikan suntikan semangat pada dirinya. Sekarang semua warga sekolah sudah mengetahui siapa pencuri yang sebenarnya dan pastinya itu membuat image jelek Prama sedikit berkurang.

Zara juga bisa membuktikan pada mamanya jika ia tidak salah pilih teman. Walau Prama memang tidak bisa dinyatakan seratus persen baik, tapi setidaknya cowok itu masih aman untuk dijadikan kawan karena kenyataannya dia bukan pencuri seperti yang mama Zara pikir.

Sebelum membuka pintu kamar rawat, diperiksanya lagi botol minuman berisi jus jambu biji merah yang dibawanya itu. Zara ingin memastikan apabila wadah jusnya tidak bocor meski sudah tahu keadaannya masih bagus karena botol itu terbilang baru. Jus istimewa untuk mamanya harus benar-benar dalam keadaan baik.

Untung Zara punya pengalaman membuat jus yang enak dari jualan, sehingga ia tidak perlu khawatir tentang rasanya. Semoga saja mamanya juga berpendapat demikian.

Saat masuk ke dalam, Zara mendapati mamanya sedang berbaring sembari melihat sebuah acara di televisi yang disediakan pihak klinik. Menurut laporan Anin yang tadi berpapasan dengannya di pintu gerbang, mama baru saja makan siang jadi Zara sekarang hanya perlu menjaga dan menunggu dokter yang biasanya datang mengecek keadaan pasien.

"Tadi dari sekolah aku ke rumah dulu. Ganti baju terus buat jus ini. Makanya ke sininya agak lama.

"Buat nanti aja. Masih kenyang."

Zara mengangguk. Diletakannya jus tersebut di atas meja yang ada di pojok ruangan. Tidak ada ucapan terima kasih tak masalah baginya, yang penting pemberiannya diterima walau tidak langsung diminum.

"Aku tadi nyampek di sekolah sebelum bel. Mama nggak lupa sama perjanjian kita, kan?" tanya Zara sambil mendekat pada Winda.

Mama Zara langsung memahami ke mana arah percakapan ini. "Tapi begini, maksud tetap berteman itu cuma sebatas say hi kalau pas ketemu di sekolah. Selebihnya jangan ada kerja sama lagi dengan dia."

Mulut Zara siap terbuka untuk melayangkan kalimat protesnya. Tapi selaan cepat dari mamanya membuat gadis itu bungkam lagi.

"Jangan jatuh di lubang yang sama. Mama sama Papa malu kalau punya anak yang bergaul sama cowok urakan kayak dia."

Zara meneguk ludah. Udara yang dihirupnya sekarang benar-benar membuat dadanya sesak. Cerita tentang Pak Hartadi yang ingin ia sampaikan kini tertelan lagi bercampur dengan rasa kecewa.

Padahal dulu saat masih sekolah Nafis juga pernah membuat masalah hampir serupa, inti masalahnya juga dari anak laki-laki. Nafis malah menjalin hubungan lebih dari teman dengan anak itu. Nafis dipengaruhi untuk bolos selama tiga hari berturut-turut. Mereka pamit berangkat sekolah tapi nyatanya justru pergi mengelilingi tempat makan untuk wisata kuliner.

Papa juga dipanggil pihak sekolah untuk dimintai keterangan. Nafis juga dimarahi habis-habisan. Tapi setelah itu, Nafis memohon agar ia tetap diberi izin melanjutkan pacaran dengan modal janji tidak akan mengulangi lagi. Semua berakhir semudah itu, orang tuanya memberikan Nafis kesempatan kedua.

Lalu jika Nafis dipercaya bisa memperbaiki kesalahan walau tidak menjauhi sumber perkara, kenapa Zara tidak?

"Ma, Prama udah jelasin alasan nyuri di toko itu karena dia--"

"Anak zaman sekarang pinter ngarang cerita. Apa yang buat kamu percaya gitu aja dengan alasan dia? Jadi cewek jangan mudah dibodohi."

"Siapa yang dibodohi?"

Zara dan mamanya serempak menoleh pada sumber suara. Tante Firda yang baru datang itu mengerutkan kening karena kakak dan keponakannya kini sama-sama memasang wajah serius.

"Eh, kamu Fir. Makasih udah dateng ke sini buat nengok keadaan Mbak." Mama Zara segera mengalihkan pembicaraan.

Tante Firda mengulas senyum. Tampak melupakan apa yang sekilas ia dengar tadi. "Iya, Mbak. Maaf aku baru sempet ke sini sekarang. Soalnya kemarin Kinzi juga demam. Sekarang Mbak Winda gimana keadaannya?"

Sementara adik kakak itu mengobrol bersama, Zara lebih memilih untuk mengambil alih sepupu kecil Kinzi dari gendongan tantenya. Ia mengajak bayi itu keluar ruangan. Bermain dengan anak kecil sepertinya bisa membuat pikirannya yang kusut menjadi lebih tenang.

Tapi baru saja ia menutup pintu dan bersiap membawa Kinzi berkeliling, ponsel di saku celananya bergetar. Nama Hana tertera di layar saat Zara memeriksanya.

"Za, gue barusan liat Ibu Prama sama orang tua Edgar ke sekolah. Kayaknya mereka masih harus bahas kasus di toko itu, deh."

Zara tidak memakan waktu lama untuk mencerna info yang Hana sampaikan. Untung saja Hana masih belum pulang sekolah karena masih ada kegiatan ekstrakurikuler paduan suara. Temannya itu jadi bisa memberi kabar dengan cepat.

Zara membawa Kinzi masuk ke kamar rawat untuk diserahkan lagi pada tante Firda. "Aku ada urusan bentar."

"Tunggu, Za. Kamu beberapa hari ini kenapa nggak jualan?"

Bibir Zara kelu. Alasan apa yang akan ia tuturkan?

"Oh ... pasti lagi musim ulangan, ya?"

Zara mengembuskan napas lega karena tantenya menyimpulkan sendiri prasangkanya. "Ya gitu, deh." Zara memaksakan senyum di akhir kalimatnya.

***

Zara lekas melesat ke ruang guru setelah memarkir sembarangan motornya di sebelah pos satpam. Ia merasa harus memburu waktu karena jika harus ke tempat parkir pasti akan lama.

Pertemuan yang Hana sampaikan pasti sengaja dilakukan sepulang sekolah agar tidak menarik perhatian banyak siswa. Tapi Zara tidak bisa menahan dirinya. Ia ingin melihat proses penyelesaian masalah Prama.

Selain merasa ulah Prama di toko waktu itu masih ada hubungan dengan dirinya, Zara juga sedikit termakan provokasi dari mamanya. Dengan mengintip jalannya rapat pasti ia akan mengetahui alasan Prama yang pastinya nanti akan cowok itu jabarkan.

Benarkah murni karena masalah keluarga? Apakah ada alasan lain yang Zara belum tahu?

Zara menghela napas karena tebersit keraguan atas kejujuran yang sudah Prama berikan padanya tempo hari. Apakah begini perangai dari seorang teman yang sebenarnya?

Tapi meski merasa bersalah karena rasa curiga itu bangkit lagi, Zara tetap berderap maju. Ia butuh kepastian untuk mengenyahkan dugaan agar hatinya tulus memberi ampunan.

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang