"Kamu kalau belum dapat omelan Mama rasanya masih ada yang kurang, iya?"
Zara yang sedang duduk berselonjor di atas tikar mendongak menatap mamanya. "Hmm? Aku dari tadi diem aja, loh. Kenapa harus diomelin?"
"Iya, diem sampai nggak sadar kalau udah waktunya berangkat sekolah. Contoh dong Kak Nafis itu, dia dulu rajin berangkat pagi nggak kayak kamu sukanya lelet."
Zara yang memang sudah berseragam rapi itu mengulaskan senyum tawar. Ia harus berterima kasih pada mama yang sudah memberinya sarapan pagi spesial berupa omelan. "Bentar, Ma. Nunggu Kak Anin sama Bang Farfan dulu. Kalau udah ada yang gantiin jaga aku kan nggak kepikiran. Jarak rumah kita ke klinik kan deket, pasti bentar lagi mereka dateng."
Mama Zara hanya menghela napas saat mengetahui alasan putrinya. Ia tidak punya sanggahan lagi. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya memandangi Zara yang sedang melipat tikar bekas alas tidurnya semalam.
"Nanti pulang sekolah aku bawain jus jambu, ya, Ma. Katanya bagus buat penderita demam berdarah."
Pandangan Winda masih terkunci pada kegiatan bersih-bersih yang Zara lakukan. Mulai hari pertama diopname sampai sekarang, hanya Zara yang rela menginap di klinik untuk menjaganya.
Sebenarnya sang suami juga ingin menamani, tapi Zara bersikukuh menyuruh papanya pulang karena beliau pasti lelah setelah seharian bekerja. Mama Zara perlahan menyadari, kalau tidak ada anak itu pasti semua terasa susah bahkan untuk ke kamar mandi sekalipun.
"Jusnya nggak usah pakai es, ya? Masa sakit minum es?" Zara malah sibuk bicara sendiri sembari melipat selimut.
"Kamu berangkat aja, nggak usah nungguin Kak Anin. Paling juga kakakmu itu kalau pagi-pagi gini masih mual."
Zara terlihat menimbang-nimbang saran tersebut. Dugaan mama kemungkinan besar benar adanya. Tapi jika ia memutuskan berangkat sekolah dan membiarkan mamanya sendirian, sudah pasti ia tidak akan tenang di sepanjang perjalanan.
"Kita bikin perjanjian aja, deh. Kalau kamu bisa dateng di sekolah sebelum bel, Mama bolehin kamu tetap berteman sama Prama."
Tentu saja mata Zara kontan membulat. "Syaratnya segampang itu?"
"Bisa dibilang mudah kalau kamu cepet berangkat," jawab Winda sembari menunjuk jam dinding dengan dagunya, bermaksud menyadarkan Zara bahwa sekarang sudah pukul tujuh kurang lima belas menit."
Zara langsung menyambar ransel, diciumnya tangan mama dengan kilat lalu mengucap salam dan segera berlari keluar. Gadis itu siap memacu motornya, berebut jalan dengan pengendara lain agar cepat sampai tujuan. "Buat siapa pun yang nanti ngeliat gue ngebut, please jangan dicontoh," gumamnya seakan benar-benar mengatakan itu di depan orang-orang yang akan ia lewati.
***
"Woi, Zara!"
Zara melotot pada Bagas. Gadis itu lalu lanjut memotret jam dinding kelas dengan rasa lega luar biasa. Ia berhasil sampai di sekolah tiga menit sebelum bel.
Zara: Kak, tolong ini nanti dikasih liat ke mama. Aku nggak terlambat masuk sekolah.
"Terniat. Ngirim foto kayak gitu emang di rumah lo kagak punya jam?"
Zara mendekap ponselnya karena tahu-tahu Bagas mengintip aktivitasnya saat mengetik pesan untuk Anin. "Awas mata lo bintitan!" seru Zara mengancam ketua kelasnya itu.
"Bintitan. Binar perhatian datang lagi dari mantan. Uhuy!" Gilang tiba-tiba menyahut dan membuat kelas heboh seketika.
Bagas mendecak lalu tanpa mengulur waktu lagi ia menggebrak papan tulis untuk menenangkan situasi. "Ayo cepet ke lapangan, kita latihan upacara lagi," intruksinya lantang yang langsung mendapat seruan senang dari anak-anak. Iya, senang kalau latihan berarti mereka tidak pelajaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Com(e)fortable [END]
Roman pour AdolescentsMenjadi anak kandung tapi tak disayang, menjadikan Zara bertekad membuktikan diri. Bersama dua sahabat, Hana yang memiliki rahasia dan Prama dengan pelik keluarga hingga dicap pencuri. Kedai jus merupakan pembuktian Zara. Bersama dua sahabat, ia ber...