Bab 9

777 106 6
                                    

Sejak menjejakkan kaki di pintu masuk, bau antiseptik dan obat-obatan menguar memenuhi indera penciuman yang membuat Prama merasa tidak nyaman. Tapi Prama harus terlihat kuat karena kini hanya dia satu-satunya yang bisa menjadi sandaran wanita yang sedang bersamanya itu.

Berdiri tegak di samping sang ibu, pandangan Prama lurus menatap sosok laki-laki yang baru tadi pagi ia larang untuk tidak memancing lagi kini terbaring lemah di salah satu brankar UGD rumah sakit Dr. Suyoto.

Prama menatap miris tubuh ayahnya. Di sana tertempel beberapa elektroda yang dihubungkan ke monitor hemodinamik dengan kabel untuk mengetahui gelombang denyut jantung, tekanan darah, sampai frekuensi pernapasan.

Dokter yang menangani menghampiri mereka berdua. "Serangan jantung Pak Rudi disebabkan karena beliau adalah perokok, Bu. Merokok dapat menyebabkan lapisan arteri rusak, dinding arteri menebal, lalu terjadi ¹atherosclerosis."

Ibu Prama hanya mampu mendengarkan dalam diam. Bibirnya tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun untuk menyahuti penjelasan dokter.

"Apa akhir-akhir ini Pak Rudi mengalami stres berat, Bu? Itu bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan serangan jantung juga."

Prama menanti jawaban ibunya. Ia sangat ingin tahu apakah perkiraan dokter ada benarnya. Karena sedari tadi Prama mengaitkan hal ini dengan tuntutan Om Ruli pada malam itu. Besar kemungkinan ayahnya berlarut-larut memikirkan jalan keluar dengan menggunakan memancing sebagai pelampiasan kepenatannya.

"Bisa kita bicara berdua saja, Dok?"

Prama menatap ibunya tidak percaya. Beberapa detik ia lalui untuk menunggu sang ibu bersuara, tapi bukan pertanyaan itu yang ingin didengarnya. Memang kenapa jika bicara di hadapannya juga? Bukankah Prama sudah cukup umur untuk ikut membahas hal-hal yang menyangkut keselamatan ayahnya? Kenapa harus dirahasiakan, itu yang Prama kecewakan.

"Kamu jaga Ayah dulu, ya, Pram."

Prama tidak membalas apa-apa. Ia hanya mengangguk mempersilakan ibunya pergi bersama dokter. Mungkin ibunya masih belum siap berbagi dengannya.

Tidak berselang lama Prama juga ikut keluar ruangan karena ingin menghirup udara segar. Setidaknya meski tetap di area rumah sakit, pemandangan di luar UGD sedikit meringankan perasaannya.

Baru saja ia duduk, ponsel di saku seragamnya bergetar satu kali, dua kali, hingga membuat cowok itu mengambil ponselnya kasar lalu mematikannya tanpa melihat dulu siapa yang baru saja mengirimi ia pesan.

***

Televisi di kamar gadis berambut pendek itu dihidupkan dengan volume lumayan keras. Tidak benar-benar untuk ditonton, hanya digunakan sebagai peramai suasana. Rumah besar yang ia huni memang sering sepi jika di siang hari. Adiknya lebih senang bermain di rumah tetangga yang kebetulan satu kelas dengannya sampai sore menjelang dia baru akan pulang.

Hana yang baru saja menggantungkan seragamnya itu kini beralih ke kursi meja belajarnya. Gadis itu duduk santai sembari mengambil tiga kotak berukuran sama tapi masing-masing berbeda warna yang ia letakkan di dekat tumpukan bukunya dengan senyum simpul.

Dibukannya kotak pertama yang berwarna kuning. Di dalamnya terdapat beberapa pernak-pernik yang lebih banyak berukuran kecil. Mulai dari gantungan kunci, pin, dan beberapa bros. Diperhatikannya baik-baik benda-benda tersebut selayaknya koleksi yang sangat ia banggakan.

Lalu di kotak kedua, isinya lebih bervariasi. Tidak satu macam seperti kotak pertama. Tapi perlakuan Hana tetap sama, ia menatap puas pada benda-benda yang dimilikinya tersebut.

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang