Bab 1

1.8K 184 43
                                    

Terdengar seruan salam dari ruang tamu saat Zara sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Tanpa berpikir panjang pun remaja 16 tahun itu hafal siapa pemilik suara yang pagi-pagi sudah bertandang ke rumahnya.

"Za, ada Kak Anin." Nafis, kakak kedua Zara membuka pintu kamar tanpa permisi. Lalu mahasiswi jurusan IT itu melenggang pergi setelah Zara menjawab dengan anggukan kecil.

Alih-alih segera menyambut kedatangan kakak pertama seperti Nafis, setelah meyakinkan bahwa tidak ada buku pelajaran yang tertinggal, gadis berambut panjang itu justru meraih ponsel yang ada di meja belajar. Dengan gerakan santai ia mengusap layar, mencari earphone dan mulai memilih lagu untuk didengarkan sembari berjalan membuka jendela kamar. Menikmati udara pagi Jakarta Selatan dalam ketenangan seperti ini adalah surga dunia bagi Zara.

Pintu kamar terbuka lagi, tapi Zara tidak menyadari karena kini ia sudah larut dalam melodi yang mengalir melalui pelantang suara di telinga kanan dan kirinya.

"Ya kali hari libur lo bisa santai gini, Za."

Tetap membelakangi yang mengajaknya bicara, Zara diam seribu bahasa.

Nafis memutuskan untuk melangkah masuk ke kamar Zara. Lalu setelah menyadari telinga adiknya tersumpal earphone, ia menghela napas sambil menarik salah satu kabelnya agar terlepas. "Lo mau berangkat sekolah jam berapa?"

Zara menoleh dan mengerjap dengan polos, tatapan matanya seakan menyiratkan keheranan terhadap kehadiran sang kakak yang tahu-tahu sudah ada di sampingnya.

"Ayo sarapan, entar lo kesiangan kalau lelet kayak gini. Hari ini upacara, kan?"

Zara terbelalak. Dimatikannya musik yang ia dengarkan, setelah itu Zara bergegas menyambar topi sekolah dan menyandang tasnya. Tidak lupa ia menyemprotkan parfum beraroma segar dengan cekatan ke beberapa bagian tubuhnya yang sudah dibalut seragam putih abu-abu. Zara lupa jika hari Senin ia harus datang lebih awal karena piket. SMA Grahita sangat disiplin jika menyangkut soal kebersihan.

Tanpa menghiraukan kakaknya yang masih setia berdiri di dekat jendela, Zara berderap keluar dari kamar dengan langkah lebar.

Saat Zara memasuki dapur, menguar aroma gurih dari sebuah bungkusan yang baru dibuka oleh Farhan, suami kakaknya. Kalau saja sedang tidak terburu-buru, mungkin Zara akan duduk manis menyantap makanan tersebut untuk sarapan. Eh, tapi dengan catatan jika makanan tersebut memang dibeli untuknya.

"Za, sarapan dulu, nih. Tadi ada yang jual nasi kuning jadi kita beli."

Zara menggeleng pelan. "Makasih Bang, tapi aku harus berangkat sekarang," jawab Zara sesopan mungkin, khawatir kakak iparnya itu tersinggung karena pemberiannya ia tolak.

Menyadari Farhan tidak terlihat keberatan, Zara pun mendekati mamanya yang sedang sibuk menata sesuatu di piring. "Ma, aku mau berangkat."

Mama Zara hanya mengangguk dengan pandangan tidak lepas dari roti bakar yang tampaknya masih hangat. Kudapan itu ditatanya dengan hati-hati seolah akan disajikan di hadapan presiden.

"Aku nyicip rotinya buat sarapan, ya?"

Mama mendecak, digelengkan kepala sembari menggeser sepiring roti bakar itu menjauh dari jangkauan Zara. "Ini buat Kak Anin, lagi ngidam tuh," jawabnya. "Kamu makan aja itu nasi kuning yang dibeli Bang Farhan."

Zara menunduk, berpura-pura membenarkan ikat pinggang untuk menyembunyikan kekecewaannya. Kenapa memberi Zara setangkup roti bakar saja mamanya tak rela? Padahal masih tersisa banyak jika Zara memakannya satu.

"Iya, bawa aja deh nasi kuningnya buat bekal kalau kamu buru-buru," Farhan ikut menimpali.

"Ada apa, sih?" Anin yang baru dari kamar mandi menyahut.

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang