Bab 4

1K 121 16
                                    

Zara berusaha menggapai ponsel yang diacungkan tinggi oleh Tamara. Bagi seorang anak perempuan dengan tinggi mencapai 160 senti seperti Zara masih belum cukup untuk bisa memenangkan perebutan itu. Pasalnya teman sekelas Zara yang menjabat sebagai bendahara itu mempunyai perawakan seperti anak laki-laki.

"Tamara ... hapus, please." Zara menjinjit sampai jari-jari kakinya pegal. "Jangan disebarin, dong. Gue kan malu," rajuknya kian memelas.

Zara mendecak karena Devi kini justru berlari menjauh sembari terkikik puas. Jika Hana masih bersamanya pasti sekarang siswi pintar itu akan menjadi penengah yang menguntungkannya. Sayang sekali Hana sudah kembali ke kelas.

Pelajaran jam terakhir di kelas Zara hari ini adalah Seni Budaya. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, guru mereka tiba-tiba menggiring seluruh siswa agar ke aula. Setelah itu dibentuk kelompok sesuai urut absen untuk diberi tugas membuat gerakan tari dan langsung harus dipraktikkan. Kelompok yang selesai tampil boleh kembali ke kelas untuk mengevaluasi gerakan tari yang mereka ciptakan.

Karena itulah Zara mengejar Tamara yang tanpa sepengetahuannya telah merekam saat ia menari. Kalau divideo untuk disimpan sendiri, sih Zara tidak keberatan. Tapi dengan tengilnya Tamara berencana mengirim video tersebut ke grup WhatsApp angkatan kelas sepuluh.

"Trisya Zara Damaris!"

Zara sontak berhenti lalu berbalik untuk memandang satu persatu gerombolan teman laki-lakinya yang selesai berdiskusi dan kembali ke aula untuk melihat sisa kelompok yang tampil. "Ngapain panggil-panggil gue?"

"Oh, kirain lupa sama nama sendiri gara-gara habis ketimpuk bola," canda salah satu dari mereka.

Zara meniup poninya dengan kesal. "Apa sih? Nggak usah dibahas lagi, deh!" ketusnya lalu kembali beranjak membuntuti Tamara. Huh, anak laki-laki itu memang selalu suka memancing emosi.

"Za, tadi sama Prama diajak ke UKS kenapa nggak mau?" celetuk Daffa masih berani mengusik Zara.

Zara tidak menyahut. Gadis itu tetap pada jalannya tapi sambil mengangkat kepalan tangan ke udara.

Prama meninju bahu Daffa pelan. Bermaksud agar berhenti menggoda Zara. Daffa hanya bisa menyeringai seraya menggaruk belakang lehernya.

Di kelas Prama ini tidak dekat dengan siapa pun. Anak-anak juga berinteraksi sewajarnya dengan Prama.

Prama lebih senang bolos pelajaran sendiri, berbuat jail sendiri, sesekali mencoba merokok di kamar mandi walau selalu gagal karena ketahuan anak OSIS juga sendiri. Prama tidak mau mempengaruhi temannya untuk menjadi nakal sepertinya. Jadi walau sering keluar masuk BK dan seantero sekolah menilai Prama sebagai siswa badung, teman sekelas tetap mau berhubungan dengannya karena sudah tahu prinsip Prama.

Di sisi lain Zara sudah memasuki koridor kelas sepuluh. Meski anak laki-laki sudah tertinggal jauh di belakang, bibir gadis itu masih manyun. "Kenapa sih mereka ngira gue nggak mau diajak ke UKS itu karena salting sama Prama? Cuma kena bola aja gitu, kan. Nggak perlu berlebihan," dumelnya membuat beberapa pasang mata siswa-siswi yang akan pulang sekolah meliriknya aneh.

"Janji. Kalau earphone gue ketemu, video Zara tadi nggak jadi disebar. Tuhan, tolong bantu tunjukkan di mana benda kesayangan itu sekarang."

Bibir cemberut Zara terurai saat baru saja memasuki kelas, terdengar ratapan dari Tamara. "Kenapa deh, Tam?" tanyanya.

"Earphone yang gue taruh di laci nggak ada, Za. Pasti disembunyiin sama anak cowok, nih!"

"Nah, tuh. Azab seorang teman yang suka diam-diam merekam kegiatan seseorang tanpa izin. Rasain." Zara meleletkan lidah lalu bergerak ke tempat duduknya. Menghiraukan Tamara yang sibuk membongkar isi tasnya demi menemukan benda yang ia cari. Dengan panik begitu, sepertinya Tamara sudah melupakan rencana penyebaran video tadi.

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang