Bab 26

670 83 0
                                    

Zara melihat jalannya pertemuan antara wali murid dengan pihak sekolah tersebut melalui salah satu jendela ruang guru yang paling pojok. Keadaan kacanya yang setengah tertutup gorden membuat posisinya sedikit terlindungi. Jika tidak memperhatikan dengan saksama, orang-orang yang ada di dalam ruangan tidak akan menyadari apabila ada pengintip.

Zara bisa melihat Prama duduk tegak di samping ibunya yang tampak gelisah. Zara tebak pasti ibu Prama baru mengetahui masalah yang anaknya timbulkan belum lama ini. Surat panggilan untuk orang tua dari sekolah tentu tidak Prama berikan pada ibunya dengan segera.

Entah tidak mau membuat ibunya khawatir atau memang enggan memikirkan hal itu lebih jauh, Zara tidak tahu alasan mana yang lebih Prama pentingkan hingga cowok itu merahasiakan masalah krusial tersebut dari keluarganya sendiri.

Saat kepala sekolah terlihat akan membuka acara, Zara bersiap menajamkan pendengarannya. Gadis itu juga berdoa agar area sekitar ruang guru terus sepi seperti saat ini agar aksi pengintaiannya aman terkendali.

Tapi sekeras apa pun Zara mencoba mencuri dengar, telinganya tetap tidak bisa menangkap suara dari dalam ruangan dengan jelas. Lalu gadis itu secara impulsif bergerak ke samping kiri, di mana penampakan ruang guru lebih terekspos dengan jelas karena kacanya terbebas dari gorden.

Tapi perpindahan posisi itu mengakibatkan Prama menyadari kehadirannya. Zara menepuk kening sembari merutuki diri sendiri dalam hati. Tetap berdiri tegang, Zara tidak berani membuat pergerakan sekecil apa pun. Prama kini sudah menoleh sempurna ke arahnya, berikut Pak Putu dan wali kelas yang akhirnya juga ikut menengok karena penasaran dengan apa yang Prama amati.

Dengan pikiran buntu Zara justru berjongkok dan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. Seharusnya ia langsung lari saja untuk menyelematkan diri karena sudah tertangkap basah sedang memata-matai jalannya diskusi itu.

Zara mendengar pintu ruang guru terbuka, lalu terasa samar-samar derap langkah mendekat padanya. Saat ia mendongak, sosok Pak Putu sudah menculak di hadapannya. Zara hanya mampu tersenyum dengan wajah tak berdosa untuk melelehkan kegarangan yang terpancar di wajah gurunya itu.

"Jangan mengganggu dengan melakukan hal tidak baik seperti ini."

Tidak ada yang bisa Zara lakukan selain mengangguk dan pergi dari tempat persembunyiannya. Tapi bukan Zara namanya jika langsung pulang setelah mendapat teguran, gadis itu memutuskan menunggu di depan ruang TU yang letaknya tidak jauh dari ruang guru.

Zara juga memberitahu Hana bahwa ia sekarang berada di sekolah karena penasaran tentang hukuman apa yang kira-kira akan Prama terima. Lalu beberapa menit kemudian muncul Hana di hadapannya.

"Gue mana bisa ngebiarin lo nunggu sendirian. Bolos ekskul sekali aja nggak masalah, kan?" tanya Hana yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban.

Mereka berdua akhirnya menanti selesainya rapat tanpa perbincangan. Hati masing-masing sedang sibuk memanjat harapan. Semoga pihak sekolah nanti mengeluarkan keputusan yang adil untuk kedua belah pihak yang bersangkutan.

***

Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya Zara dan Hana melihat pemandangan yang sebenarnya enggan mereka saksikan. Satu persatu guru keluar, disusul Edgar bersama seorang laki-laki berkumis yang mereka yakini adalah om Prama. Terakhir baru Zara dan Hana menyaksikan Prama dan ibunya menampakkan diri.

Ibu dan anak itu tidak lekas pergi dari sekolah. Mereka masih diam sejenak di depan ruang guru. Seperti siap akan mendapat banyak pertanyaan, Prama berdiri di depan sang ibu dengan kepala tertunduk. Ibu Prama terlihat memegang dada dan pundaknya jelas mulai bergetar. Zara dan Hana hanya bisa menyaksikan hal itu dalam diam.

Prama mengatakan pembelaan yang entah kenapa makin membuat ibunya menangis. Zara tahu pasti hati Prama kini retak kala melihat sang ibu sedang meratap di hadapannya.

Menyadari situasi yang tidak memungkinkan untuk mencari tahu hasil rapat, Zara dan Hana sepakat meninggalkan Prama dan ibunya agar mereka bisa leluasa meluapkan emosi.

Dua gadis itu pun merenung di bawah wall climbing yang berada di samping lapangan upacara. Zara sibuk dengan pikirannya yang masih meragukan alasan Prama mencuri di toko omnya. Sedangkan Hana kalut dan khawatir, bagaimana jika ia nantinya juga ketahuan mencuri? Meski disebabkan oleh kleptomania, tetap saja mengambil barang orang lain bukan tindakan terpuji.

"Han, lo kenapa yang paling kelihatan takut? Padahal yang terancam kena hukum itu Prama."

Hana mendesah pelan. Dengan hati-hati ia menjelaskan perihal kegelisahan yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya. "Gue pengin sembuh, Za."

"Kalau nanti misalnya lo ketahuan, pasti mereka akan memahami. Klepto cuma ngambil barang-barang yang remeh, kan? Gue yakin pasti lo mampu beli tanpa nyuri.

"Jadi mulai sekarang, tiap keinginan mencuri itu muncul, lo harus tekankan pada diri sendiri kalau lebih baik beli aja. Atau mau ke psikiater? Gue temenin kalau lo takut."

Hana menggenggam jemari Zara dengan haru. Gadis itu mendapatkan kembali kepercayaan dirinya yang sempat hilang.

"Gue juga mau bantu lo sembuh."

Zara dan Hana saling pandang saat Prama tahu-tahu sudah berdiri di belakang mereka. Tanpa menunggu respons, cowok itu melangkah di sela jarak dua gadis itu lalu mengambil posisi duduk sila di depan keduanya.

Tanpa diminta Prama juga langsung menceritakan jalannya rapat dan memberi tahu pada kedua temannya bahwa ibunya sekarang sudah pulang terlebih dahulu naik taksi. Cowok itu juga sekali lagi meminta maaf karena sudah berbuat ulah yang secara tidak langsung menyeret Zara dan Hana untuk menyelesaikannya.

"Hukuman yang bakal dikasih ke gue masih dirunding lagi. Paling keputusannya baru keluar besok. Ibu gue kecewa. Katanya masalah keluarga itu urusan orang dewasa. Padahal gue cuma membuktikan diri kalau gue itu pantas untuk diandalkan."

Mendengar itu Zara pun segera meminta maaf karena tadi ia sempat berpikir bahwa alasan yang Prama katakan padanya waktu itu hanya bualan saja. Zara menjelaskan bahwa usaha jusnya itu juga untuk membuktikan diri bahwa ia punya sisi menarik yang lebih fantastis dari kedua kakaknya.

"Makanya gue harus bener-bener tau alasan lo ngelakuin itu. Karena gimana pun juga, insiden ini yang buat usaha gue hancur, terus citra gue di hadapan orang tua makin jelek aja."

Hana menatap kedua temannya secara bergantian. Ia pikir di antara ketiganya, dialah yang mempunyai masalah paling berat. Tapi ternyata ia masih beruntung. Meski menderita kleptomania, tapi setidaknya ia mendapat kasih sayang luar biasa dari orang tua. Hana tidak perlu membuktikan diri untuk mendapat puji dan segala perhatian.

"Meski orang lain nganggap lo anak yang nggak bakal punya masa depan, biarin aja. Mereka nggak berhak menentukan nasib seseorang. Karena kalau lo melibatkan Tuhan di setiap usaha dan doa, semua impian akan menemukan titik keberhasilannya."

Prama menengadah ke langit yang hari ini cerah. Semburat awan putih yang menghampar di luasnya langit biru terasa menenangkan.

"Za, orang tua lo pasti sayang sama semua anaknya. Bukan pilih kasih, tapi kalian mungkin belum pernah punya waktu untuk saling terbuka."

Zara mengembuskan napas. Mungkin apa yang Hana katakan benar adanya. Keluarganya memang jarang menghabiskan waktu bersama di saat liburan. Atau memang dirinya yang selalu menghindar karena terus-menerus merasa kehadirannya tidak dianggap penting bahkan sebelum mencoba mendekat?

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang