Jingga di ujung langit menuntun kita pada malam yang tak berbintang
Hingga kini terasa, terhapus semua janji yang pernah terucapkanZara benar-benar menghayati saat single milik Fatin itu terdengar di earphone-nya. Emosinya larut pada setiap lirik yang dipadu dengan melodi lembut itu. Entah kenapa firasatnya mengatakan bahwa setelah hari ini ia akan membutuhkan lagu tersebut untuk menemaninya.
Zara pikir itu pasti karena nadanya yang menenangkan hingga membuatnya jatuh cinta pada pendengaran pertama. Yang pastinya Zara merasa perlu mengulang-ulang lagu tersebut hingga ia bosan dengan sendirinya.
"Tenang, Za. Lo nggak akan galau dan sedih, kok. Perasaan lo aja yang parnoan."
Gadis itu meyakinkan diri sendiri. Lalu karena istirahat pertama ini akan segera berakhir, Zara cepat-cepat melanjutkan rencananya di taman sekolah itu. Lagi-lagi waktu mengasonya Zara gunakan untuk memasarkan jus. Hari ini gadis itu mencari wi-fi gratis untuk mengunggah promosi di akun media sosialnya.
Bukan tidak mengindahkan ancaman Hana dengan tidak melibatkan temannya itu promosi lagi seperti kemarin, tapi Zara merasa tidak perlu ditemani karena promosi kali ini kan tidak perlu ramai-ramai. Lagipula Hana sendiri saat ini harus ke perpustakaan karena ada tenggat pengembalian buku yang harus dipenuhi. Sedangkan Prama bermain sepak bola di lapangan belakang dengan teman sekelas yang mulai sedikit akrab dengannya.
"Lo yang namanya Zara? Yang baru buka stan jus?"
Zara mengernyit saat dilihatnya ada sepasang sepatu berhenti di hadapannya. Gadis yang duduk di bangku semen itu pun mendongak sembari melepas earphone-nya yang kini mendengdangkan Teman Bahagia dari Jaz.
Tatapan Zara langsung terpaku pada wajah kuning langsat di depannya itu. Hidung bangir dan alis tebalnya menjadi daya pikat yang membuat Zara tidak rela berkedip barang satu detik. Zara menjerit dalam hati. Apa dia akan diberi sekuntum mawar seperti di novel-novel? Jangan-jangan cowok itu adalah penggemar rahasianya yang baru memberanikan diri ke luar dari persembunyian.
Tapi Zara segera menepis pikiran konyolnya karena ekspresi cowok itu perlahan-lahan berubah keruh. "Lo tadi ngomong apa? Gue nggak denger." Akhirnya Zara membuka suara.
Cowok tersebut mengulang pertanyaannya dengan aura dingin, membuat Zara kembali menarik pujian terhadap ketampanannya beberapa detik yang lalu. "Iya gue Zara, pemilik Table Juice. Kenapa?" tanya Zara berusaha bergaya congkak agar cowok itu salah mengira bahwa seorang cewek akan takut dengan kejudesannya.
"Prama punya peran penting apa sampai dia ngintilin lo terus selama jualan?"
Zara mengernyit bingung, kenapa jadi belok membahas Prama? Cowok itu benar-benar aneh. "Ya dia itu temen gue. Makanya siap bantuin gue kapan pun. Kenapa sih lo kepo banget!"
Cowok di depan Zara membeliakkan matanya. "Gue kakak kelas lo, ya! Sopan dikit kek kalau ngomong."
Zara mengerjap kaget karena tiba-tiba mendapat omelan. Tapi ia buru-buru menguasai diri lagi. "Situ yang ngajarin songong duluan. Ya udah, adik kelas ngikut aja. Dedek ini masih labil, Kak."
Cowok yang menurut label identitas di seragamnya itu bernama Edgar membuang muka ke lain arah. Lalu setelah mengembuskan napas ia kembali menatap Zara. "Gue cuma mau tanya-tanya. Jadi mending lo jangan bawel dan jawab aja sesuai fakta."
"Ya udah cepet, mau tanya apa?"
Edgar duduk di ujung bangku. Terkesan menjaga jarak dan tidak ingin dianggap mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan duduk berdekatan. Zara terkesan dengan etika yang Edgar pegang teguh.
"Prama bantu mulai dari persiapan sampai buka stan?"
"Iya."
"Termasuk belanja perlengkapan juga Prama?"
"Iya."
"Lo yang nyuruh Prama belanja? Lo yang desak dia biar mau beli semua kebutuhan jualan?"
"Prama nawarin sendiri, kok. Gue nggak pernah maksa." Zara melipat tangan di depan dada. Sedikit tersinggung karena Edgar seakan menganggapnya adalah tipe gadis yang suka menjadikan teman laki-laki sebagai pesuruh.
Tanpa sepengetahuan Zara, Edgar menggeleng pelan sembari tersenyum misterius dan meremehkan. Cerita Zara yang apa adanya itu agaknya tidak lekas membuat Edgar percaya begitu saja.
"Zara!"
Yang dipanggil segera menolehkan kepala. Tampak Prama dengan seragam berantakannya berjalan dengan tatapan lurus ke arah Zara. Wajah yang penuh keringat dan terlihat kemerahan karena terbakar matahari itu justru membawa angin segar untuk Zara.
"Ayo balik ke kelas," titah Prama setelah sepersekian detik menajamkan pandangan pada Edgar.
"Ini juga mau ke kelas, kok." Zara bangkit sambil menggulung earphone-nya. Tanpa kata lagi gadis itu beranjak dalam giringan Prama. Meninggalkan Edgar yang tampak sedang kebakaran jenggot.
"Kalau besok-besok cowok tadi nyamperin lagi, lo tendang aja kakinya terus kabur," kata Prama memberi pengarahan setelah cukup jauh dari taman.
Zara mengunci rapat mulutnya. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang berkumpul di ujung lidahnya, termasuk hubungan apa yang dimiliki Prama dengan cowok tadi. Tapi melihat Prama sedang dalam keadaan bad mood, Zara memilih untuk diam.
Sesampainya di kelas, Prama langsung menuju kursinya. Menurut pengamatan Zara, cowok itu terlihat sibuk dengan ponsel. Entah mengirim pesan kepada siapa.
"Ya ampun, parah. Sumpah, nggak nyangka gue sama si Hana." Gilang tertawa sambil mengusap ujung matanya yang berair.
Fokus Zara seketika tertuju pada sahabatnya yang sedang duduk sambil menulis entah apa itu. Hana yang hampir tidak pernah ditertawakan kini justru menjadi bahan bercanda. Dan Zara yakin sekali dari gelagatnya, Hana sama sekali tidak suka.
"Lang, udah kali. Ketawa mulu entar gigi lo kering." Zara menepuk punggung Gilang.
"Lo kalau liat tingkah Hana pasti juga bakal ketawa."
Zara menatap Gilang, sorot matanya menuntut penjelasan.
"Gue nyeret Gilang yang lagi main bola karena dia belum piket. Minimal harus bersihin papan tulis, lah, biar nggak dihukum.
"Pas masuk kelas kita mergokin Hana lagi masukin penghapus papan ke tasnya. Kita kaget, dong. Ternyata Hana bisa jail juga. Bisa-bisanya dia ngumpetin penghapus."
Vinta tanpa diminta berbaik hati membeberkan kronologinya. Zara mengangguk paham saja, menurutnya tidak ada rasa humor dalam cerita seksi kebersihan itu. Entah di mana letak kelucuannya hingga Gilang dan beberapa teman lain tergelitik geli.
"Mungkin Hana mau ngerjain Pak Bandu, kali. Pak Bandu kan nggak like kalau papan tulis masih dirty." Clara ikut menimpali dengan menyebut guru bahasa Inggris yang sebentar lagi memang pelajaran tersebut.
Zara menggeram pelan. "Oke, udah," pungkasnya sambil menggerakkan kedua tangannya menjadi garis lurus di udara. "Sekarang lo cepet piket sana," lanjutnya memerintah Gilang.
"Yang harusnya bilang gitu gue kali, Za."
Zara tidak menggubris Vinta. Gadis itu menghampiri Hana dan duduk di sampingnya. Terlihat Hana sedang mencengkeram roknya dengan panik yang diusahakan tidak kentara.
"Hati-hati, Za. Entar pas lo jualan tiba-tiba pisau yang buat motong buah diumpetin juga sama si Hana." Gilang masih sempat menambahkan canda yang makin membuat Hana gelisah.
Zara menjadi serba salah. Ia ingin menanyakan kenapa teman baiknya itu terlihat gamam, tapi ragu karena Hana tampak tidak ingin diajak bicara. Padahal menurut Zara wajar saja jika kita sekali-kali membuat keusilan. Namanya juga remaja. Kenapa Hana sangat terpukul seperti menyembunyikan barang adalah aib paling jeleknya saja.
"Itu cuma lawakan anak-anak aja kok, Han. Santai aja, ya. Gue nggak terpengaruh." Hanya itu yang bisa Zara ucapkan untuk meredakan keresahan Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Com(e)fortable [END]
Ficção AdolescenteMenjadi anak kandung tapi tak disayang, menjadikan Zara bertekad membuktikan diri. Bersama dua sahabat, Hana yang memiliki rahasia dan Prama dengan pelik keluarga hingga dicap pencuri. Kedai jus merupakan pembuktian Zara. Bersama dua sahabat, ia ber...