Bab 19

566 82 0
                                    

Beberapa kali Zara menoleh ke belakang. Berharap saat ia berpaling pada kendaraan yang melaju dari arah perumahannya itu muncul sosok papanya. Tapi sampai jauh langkahnya, jemputan dan raut kekhawatiran orang tua yang ia bayangkan tidak terwujud.

Apalagi langit yang sudah menggelap sempurna membuatnya sedikit ragu di antara dua pilihan. Melanjutkan rencana kabur ini atau kembali ke rumah dengan konsekuensi dimarahi habis-habisan atau justru menahan malu karena orang tuanya yang mungkin tidak menghiraukannya.

"Ini kalau gue jalan terus, di depan sana jalan udah mentok sama Tol Pondok Pinang. Ya kali gue keliaran di sana?"

Zara menendang-nendang kerikil yang dilaluinya. Gadis itu kesal pada diri sendiri yang mana sebelum pergi dari rumah tidak sempat berganti baju dulu. Sekarang seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya itu sepertinya menarik perhatian orang-orang.

Zara mengusap lengannya yang mulai kedinginan, berlanjut mengelus perutnya yang terasa lapar, dan berakhir memijat kakinya yang lelah karena telah menempuh perjalanan jauh.

Beristirahat di pinggir jalan, menyaksikan lalu lalang kendaraan seorang diri lama-lama membuat Zara menyadari satu hal.

Hal yang membuat Zara ragu untuk melanjutkan rencana kaburnya hanyalah satu, rindu. Meski malu untuk mengakui, tapi memang itulah kenyataannya. Jauh dari rumah sebentar saja tersiksanya sudah tidak karuan, apalagi jika ia pergi dalam waktu lama?

Sudah Zara tekankan dari awal, ia tidak bisa benar-benar benci pada orang tuanya. Karena ia menyadari bahwa orang tua yang masa bodoh, bisa jadi adalah impian anak-anak yang terlahir sebagai yatim piatu.

Keluarganya yang kurang harmonis tidak selayaknya ia tinggalkan seperti ini. Karena mau bagaimana pun, mereka tetap rumah kita. Kenangan manis di sana harus tetap dikenang, sementara kekurangan yang ada perlu kiranya untuk diperbaiki.

"Gue harus kembali."

***

Zara menatap rumahnya yang terlihat sepi. Tampaknya kedua orang tuanya sedang keluar karena mobil papanya juga tidak ada. Tapi mengingat mamanya yang sedang sakit, gadis itu yakin pasti papanya pergi sendiri. "Apa papa nyariin gue, ya?"

Zara segera menekan bel di dekat pintu. Ia harus segera masuk agar bisa mengambil ponsel dan menelepon papanya untuk memberitahu jika ia sudah kembali. "Mama, aku pulang."

Tidak juga ada jawaban. Ditekannya bel untuk kedua kalinya. "Apa mama udah tidur karena efek obat?"

"Ma, aku minta maaf karena tadi udah ngomong kasar. Tolong bukain pintu, Ma. Aku nyesel karena nggak pernah menghargai papa sama mama."

Tetap tidak ada sahutan dari dalam. Zara mulai panik. Sembari menggigit ibu jarinya, gadis itu mengintip keadaan rumah melalui jendela ruang tamu. "Mama sama papa ke mana, sih? Apa mereka langsung pindah ke luar kota karena seneng aku pergi? Mereka mau nelantarin aku di sini?"

Zara memukul kepalanya karena sudah berpikir absurd. Masih dengan cemas gadis itu lalu berlari ke area samping rumah dan segera mengetuk pintu yang juga bersambut dengan sunyi.

"Nggak bisa gini terus, nih." Zara bergegas menuju rumah tante Maya. Tetangganya itu pasti mempunyai nomor telepon papanya karena anak sulung tante Maya kuliah di universitas tempat orang tuanya bekerja.

"Kamu dari mana sih emangnya? Keluyuran malem-malem, mana nggak bawa apa-apa begini."

"Ceritanya panjang deh, Tante," jawab Zara sambil menengadahkan tangannya, berharap segera dipinjami ponsel.

"Bentar, ini hape tante ada pasword-nya." Tante Maya menekan beberapa kode lalu mengangsurkannya pada Zara. "Nih, cepet telepon papa kamu," titahnya lalu bersandar pada sofa.

Zara segera menelusuri kontak telepon. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan nomor dengan nama Aryo Damaris. Detik-detik tersambungnya telepon terasa begitu menegangkan bagi Zara.

"Iya, Bu Maya?"

Zara memekik tertahan saat suara papanya terdengar. "Pa, ini Zara. Papa di mana?"

"Papa di Klinik Harapan Bersama. Mama pingsan semenit setelah kamu pergi."

Zara buru-buru menutup telepon setelah berkata bahwa ia akan segera menyusul ke sana. Dikembalikannya ponsel tante Maya sekalian pamit. "Mamaku ternyata harus dirawat," jelasnya singkat tapi langsung dipahami oleh lawan bicaranya.

"Maaf, ya. Tante nggak bisa antar kamu ke sana. Soalnya motornya lagi dibawa sama suami tante ke rumah teman kantornya yang lagi tasyakuran. Padahal udah malem gini tapi belum pulang juga."

Zara menggeleng tanda tidak keberatan. "Nggak papa. Tante mau pinjami telepon aja aku udah makasih banget."

***

Klinik yang letaknya haya lima ratus meter dari perumahannya terasa lama untuk ditempuh. Semakin Zara ingin cepat sampai, semakin lambat pula rasa laju kakinya.

Oleh karena itu, setelah tiba, Zara lekas berlari menuju resepsionis untuk menanyakan di mana ruang rawat mamanya.

Bugenvil nomor 7.

Zara mengerahkan lagi tenaganya yang tersisa. Begitu sampai pada kamar yang dicari, tangis gadis itu tiba-tiba pecah tak tertahan lagi. Ada rasa menyesal yang menyusup ke benaknya. Seandainya tadi ia tidak marah-marah, seandainya ia tidak pergi dari rumah, seandainya ia fokus merawat mamanya saja.

"Kalau aku nggak bikin ulah pasti keadaan mama nggak drop kayak gini," katanya miris melihat wanita yang melahirkannya itu kini sedang terlelap. Tiang infus menjulang tinggi di sampingnya.

"Kata dokter mama sakit apa, Pa?"

Papanya yang sedari tadi diam itu pun akhirnya menyahut. "Positif demam berdarah."

Zara terbelalak, gadis itu lalu menggenggam jemari mamanya. "Cepet sembuh, jangan sakit lagi. Aku akan di sini ngerawat mama sampai pulih."

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang