Bab 16

602 89 2
                                    

Zara selesai mencatat pesanan jus yang tertera di kolom komentar postingan promosinya tadi. Beberapa teman SMP yang sekarang sekolah di lain SMA memesan dan meminta layanan delivery. Zara terima saja, rezeki tidak boleh ditolak. Lagipula SMA temannya masih di sekitar Bintaro.

Setelah menyimpan buku kecil tempatnya mencatat pesanan, Zara menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Pelajaran bahasa Inggris kosong. Pak Bandu tidak meninggalkan tugas seperti biasanya saat beliau berhalangan hadir. Dalam mood baik, jam bebas seperti ini adalah surga dunia bagi Zara. Tapi sekarang gadis itu berwajah lesu sambil menopang pipi.

Zara memikirkan baik-baik tentang tujuan sebenarnya ia menggeluti dunia jual beli di usia muda itu apa. Awal Zara menekuni online shop adalah saat ia kelas tiga SMP, lebih tepatnya setelah Ujian Nasional. Lelah dibandingkan-bandingkan dengan Nafis atau Anin yang katanya dulu banyak mengikuti kursus untuk mengisi kekosongan waktu juga sembari menunggu keluarnya ijazah, Zara yang memang suka luntang-lantung di rumah akhirnya panas hati.

Zara pun berguru pada tetangganya--tante Maya yang lebih berpengalaman di online shop. Orang lain selalu menganggap ibu dua orang anak itu tidak punya pekerjaan selain diam di rumah. Tapi siapa sangka banyak berdatangan pesanan yang mengharuskan tante Maya bolak-balik ke kantor pengiriman barang.

Setelah benar-benar menjalankan online shop, orang tua Zara mengurangi acara banding-membanding mereka. Meski tidak menunjukkan kebanggaan, tapi Zara yakin suatu saat nanti orang tuanya akan menyadari ketelatenan mengelola usaha kecil-kecilannya itu.

"Omaigaaat ...!"

Teriakan Tamara membuyarkan angan-angan Zara. Zara mendengkus saat dilihatnya bendahara kelas itu kini sedang menatap layar ponsel dengan mulut terbuka yang ditutup dengan telapak tangan.

"Pasti ada gosip baru di lambe turah," gumam Zara lalu menidurkan kepala pada lipatan tangannya di atas meja supaya ia lebih tenang dalam melanjutkan perenungan.

"Kata Kak Cahyo-"

"Oh ... gebetan lo yang sampai sekarang belum ngasih kepastian itu, ya?"

Tamara melotot pada Vinta yang dengan santainya membahas masalah sensitif itu. Zara sendiri tidak peduli banyak. Biasanya ia akan ikut nimbrung mengolok Tamara yang memang sudah lama terjebak friendzone dengan ketua ekskul pramuka itu. Tapi sekarang tidur siang sepertinya lebih enak. Matanya tiba-tiba terasa berat.

"Dengerin dulu kalau gue ngomong!" hardik Tamara pada Vinta yang cengengesan. "Kata Kak Cahyo, ekskul tari kan mau ikut lomba. Terus mereka iuran buat sewa kostum gitu.

"Nah, bendahara ekskulnya kelupaan naruh dompet yang isinya uang iuran di musala. Pas dicek, dompetnya udah ilang. Kak Cahyo nyuruh gue hati-hati kalau pegang uang karena gue bendahara juga. So sweet nggak, sih? Hehe."

Zara serta-merta duduk tegak. "Ya elah, Tam. Lo jangan baper dulu, kali. Ini fokusnya tentang keamanan sekolah kita yang makin hari makin menurun. Lo nyadar nggak, sih?" ujarnya tidak tahan untuk ikut komentar.

Tamara mengatupkan bibir. Teman-teman sekelas Zara juga diam-diam membenarkan dalam hati. Ke mana keamanan yang dulu sangat terjaga di Grahita?

Pintu kelas tiba-tiba terbuka. Mereka mengira sosok guru yang baru masuk itu adalah Pak Bandu yang memang memiliki postur tubuh tinggi dan tegap. Tapi ternyata yang sedang menyapukan pandangan ke seluruh siswa X-4 itu adalah Pak Putu, waka kesiswaan.

Aura seketika terasa tegang. Rahang Pak Putu yang mengeras sudah bisa menjelaskan bahwa telah terjadi sesuatu yang fatal dan mungkin salah satu penghuni kelas ini pelakunya. "Yang namanya Prama ikut saya ke ruang kepala sekolah."

Setelah mengeluarkan mandat tersebut Pak Putu berbalik dan beranjak pergi dengan derap langkah gegas. Prama pun segera mengikuti beliau, meninggalkan desas-desus teman sekelas yang mulai mendengung memenuhi ruangan.

Zara merasakan firasat tidak enak. Gadis itu lantas mengingat Edgar yang tadi mewawancarainya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh. Apa dipanggilnya Prama berkaitan dengan Edgar? Tapi mengapa sampai ke ruang kepala sekolah? Selama ini kenakalan Prama paling mentok berakhir di ruang BK, kenapa sekarang tempat 'persidangan'nya naik tingkat?

Entah di mana kewarasan Zara sekarang. Gadis itu sudah berdiri hendak menyusul Prama. Jika Hana tidak buru-buru mencekal pergelangannya, Zara kini pasti sudah melesat ke luar kelas.

"Kita doain Prama biar baik-baik aja dari sini, oke?" Hana yang emosinya sudah stabil menuntun Zara duduk kembali.

***

Prama masuk ke ruangan 3×5 meter itu setelah Pak Putu. Di sana sudah ada kepala sekolah, wali kelasnya, dan anak laki-laki yang usianya satu tahun di atas Prama duduk berhadap-hadapan di set sofa yang tersedia.

Prama meloloskan helaan napas kasar pada Edgar--anak laki-laki itu yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Ancaman-gue-nggak-main-main, begitulah maksud senyum Edgar yang membuat Prama dongkol.

"Kami perlu mengklarifikasi sesuatu yang Edgar berikan kepada Pak Putu." Kepala sekolah berbicara langsung pada intinya setelah Pak Putu dan Prama duduk bersebelahan."

Jantung Prama berdentam-dentam. Ruangan berpendingin ini tidak membuatnya merasa sejuk. Justru keringat dingin mulai terasa mengusiknya. Dalam sejarahnya membuat masalah, baru kali ini Prama dilanda takut dan gelisah.

"Tolong amati dengan baik-baik." Kepala sekolah tampak mengklik entah apa di layar laptopnya. Kemudian setelah beliau menyodorkan laptopnya, barulah Prama tahu sedang ada video yang terputar di sana.

Prama mengusap keningnya yang mulai memunculkan titik-titik air kecemasan. Video tersebut merupakan sebuah rekaman dari kamera CCTV. Seseorang dengan kepala tertutup hodie dan wajah bermasker kain hitam mencoba membuka pintu belakang sebuah toko dengan peralatan yang dibawanya.

Video berlanjut pada kegiatan penyusup itu saat di dalam toko. Dengan senter kecil yang dibawanya, ia mengambil barang-barang yang ia inginkan dengan cekatan. Seolah sudah hapal dengan susunan rak di toko grosir dan eceran tersebut.

Barang-barang yang ia dapat dikumpulkannya di meja kasir. Setelah memasukkan ke dalam kantong kresek besar, pencuri itu tidak lekas keluar. Ia mengobrak-abrik toko. Dalam sekejap kondisi toko pun langsung kacau-balau. Beberapa rak roboh, kaleng-kaleng susu berserakan, bungkus demi bungkus sabun mencuci berceceran, dan masih banyak lagi yang porak-poranda.

"Saya sebagai putra Ruli Darmawan yang tidak lain adalah pemilik toko bisa mengalisa. Dengan sekali lihat, penyelundup itu dapat saya duga indentitasnya. Barang-barang yang diambil tidak seberapa. Hanya gula, susu kental manis, beberapa cup dan sedotan. Tapi kerusakan akibat ulahnya memberikan rugi kepada kami."

"Dengan cara apa kamu mengedentifikasi pencuri itu hingga menyimpulkan satu nama yang secara langsung dijadikan tersangka?" Wali kelas Prama bersuara.

"Mudah saja, saya punya beberapa foto Prama menggunakan hodie seperti di video. Postur mereka tidak menunjukkan adanya perbedaan," jelas Edgar percaya diri.

"Jika video tadi dihubungkan dengan beberapa kasus kehilangan yang akhir-akhir ini terjadi di sekolah, tidak menutup kemungkinan pelakunya adalah orang yang sama."

Prama terhenyak. Bisa-bisanya Edgar, sepupunya itu berkata seenak jidatnya. Tapi jangankan mengelak, bergerak saja Prama kini terasa kikuk. Tiga pria dewasa dan seorang bocah tujuh belas tahun sedang mengintimidasi dirinya.

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang