Bab 22

610 78 0
                                    

"Ini beneran gue nggak usah ikutan?" Zara tiba-tiba menghampiri Prama dan duduk di kursi kosong sebelah kiri cowok itu. "Gue kan pengin beraksi juga," lanjutnya.

Prama menutup mata dan menghela napas pelan. Lama-lama ia juga lelah dengan Zara yang tingkat kebawelannya setinggi langit. "Udah gue bilang untuk sekarang lo diem dulu. Biar gue sama Hana yang maju duluan."

Zara mendecak sembari melengos. Aksi protesnya itu juga dilengkapi dengan bibir cemberut yang membuat Prama geregetan.

"Jangan kayak anak kecil, deh. Udah sono balik ke bangku lo sendiri. Anak-anak udah pada liatin kita, tuh. Emang lo nggak risih?" bisik Prama.

Mau tidak mau Zara menatap teman-temannya yang bersiap pulang karena pelajaran memang baru usai sekitar lima menit yang lalu. Mereka benar sedang memasukkan alat tulis ke dalam tas, tapi Zara sadar beberapa kali satu atau dua temannya melempar tatapan penuh selidik ke arahnya.

Beberapa hari menutup diri dari keramaian dan saat muncul langsung tampak akrab dengan si pembuat masalah memang terlihat sangat mencolok. Pantas saja jika Zara menjadi pusat perhatian.

"Tapi nanti langsung kabarin gue gimana hasilnya, ya?" Zara akhirnya berdiri dan bersiap kembali ke tempatnya.

Prama mengangkat ibu jarinya. "Pasti gue kasih tau perkembangannya."

Setelah mendengar kalimat yang meyakinkan dari Prama, Zara lantas beranjak pergi. Kesal juga karena terus-menerus ditatap penuh curiga oleh sebagian besar penghuni kelasnya.

"Zara."

Gadis itu otomatis menahan napas. Entah kenapa tiap kali Prama memanggilnya dengan intonasi rendah seperti itu Zara merasa jengah. Padahal pasti Prama sendiri tidak bermasksud membuatnya tersipu.

"Hmm?" Zara berbalik dan berusaha memperlihatkan respons senormal mungkin.

"Makasih."

Zara mengangkat sebelah alis. Ungkapan Prama yang di luar dugaannya tersebut membuat bingung.

"Makasih karena lo masih mau nerima gue."

Selain alis yang terangkat kini Zara menambahkan kerutan di dahinya. "Maksud lo apa, sih?"

"Maksudnya, gue seneng aja lo masih mau temenan sama gue. Lo masih nerima gue sebagai teman itu sesuatu yang wow kalau menurut gue."

Zara manggut-manggut dengan perlahan. "Ya mau gimana lagi, nggak bisa dipungkiri elo juga pernah buat hari-hari gue berwarna. Lagian kalau berteman kan harus saling menerima kelebihan dan kekurangan," jawabnya.

Lalu masih dengan tatapan teduh Zara melanjutkan, "Dengan diri yang apa adanya ini apa pantes kalau gue mutusin nggak mau berhubungan sama lo lagi untuk selamanya?"

Kalau ditanya apa momen yang mampu membuatnya merasa menjadi orang tidak berharga, sekaranglah jawaban Prama. Melihat gadis yang mimpinya sudah ia hancurkan tengah membuka lebar pintu maaf untuknya tentu saja membuat Prama tersudut.

"Gue bakal gunain kesempatan kedua ini dengan sebaik-baiknya, Za."

***

Hana menengok ke dalam ruangan yang ada di dekat kantin. Seperti dugaannya, di antara beberapa rekan kerja lainnya Pak Hartadi yang selalu pulang paling akhir. Entah apa yang ia lakukan di ruang tempat penyimpanan barang khusus karyawan itu hingga membuatnya keluar lebih lama.

"Kita masuk sekarang, Pram?"

Prama merenggangkan lengan dan area lehernya bagaikan ia akan terjun dalam pertarungan saja. "Ok, let's do it!"

Hana mengekori Prama yang masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan 2×3 meter itu sembari merapalkan doa semoga rencana mereka kali ini diberi kemudahan. Jujur saja sekarang ia merasa seluruh badannya lemas karena takut jika Pak Hartadi sulit untuk didekati.

"Masih sibuk aja, Pak? Lagi apa, sih?" Prama tanpa segan langsung melontarkan pertanyaan hingga Pak Hartadi terperanjat. "Oh ... lagi ngitung uang gajian? Tapi kan ini masih pertengahan Februari, belum tanggal terima gaji," lanjutnya.

"Kayaknya itu uang yang lebih istimewa dari gajian deh, Pram. Secara kan dapetinnya nggak gampang." Hana berjerih payah melawan rasa cemasnya agar tampak berani di depan Pak Hartadi.

"Saya nggak lagi ngitung uang. Kalian ini bicara apa?"

Prama tersenyum miring. Tubuhnya yang menjulang di hadapan Pak Hartadi yang sedang duduk sebenarnya cukup mengintimidasi laki-laki dewasa itu. "Bapak ingin tau kita lagi bicara tentang apa? Oke, saya jelasin. Pertama, tolong bayangin gimana rasanya dituduh melakukan pencurian yang ternyata pelakunya adalah orang lain. Pastinya marah, kecewa, malu sampai ubun-ubun!"

Hana menggunakan ketegangan yang Prama berhasil ciptakan dengan sigap. "Enak banget orang itu, dia sembunyi biar namanya tetep bagus di mata orang-orang. Padahal kelakuannya udah keterlaluan."

"Saya capek, mau pulang dulu. Kalian para remaja ini selalu bikin pusing orang tua kayak saya." Pak Hartadi berdiri namun dengan cepat didudukkan lagi oleh Prama.

"Jangan coba ngehindar," bisik Prama penuh ancaman.

"Saya punya rekaman apa yang Bapak lakukan di kelas X-7 kemarin." Hana mengangkat ponselnya. Entah bagaimana raut wajahnya sekarang, Hana harap ia bisa terlihat meyakinkan dan semoga saja Pak Hartadi tidak memintanya memutar video yang sesungguhnya tidak ada itu.

Pak Hartadi mencoba meraih ponsel yang teracung di depannya. Untung saja Prama cekatan mengamankan ponsel Hana di dalam saku celananya sebelum petugas kebersihan itu berhasil meraihnya.

Pak Hartadi mulai memberi reaksi panik. "Jadi kalian mau melaporkan saya?"

Hana tersenyum menenangkan. Kemudian gadis itu duduk di kursi panjang yang ada di hadapan Pak Hartadi. "Nggak perlu takut gitu, Pak."

"Sesekolah udah nganggap saya bobrok. Sekalian aja saya buat asumsi mereka jadi kenyataan."

Pak Hartadi menatap Prama bingung. Dua siswa ini sudah mengetahui sisi buruknya. Tapi bukannya cepat-cepat menggiringnya pada pihak yang berwajib menangani masalah ini, mereka justru terlihat melunak dan bersahabat. "Kalian mau menjebak saya?"

Hana menggeleng. "Saya bosen jadi murid baik, Pak. Sekali-kali saya mau bikin masalah biar viral. Remaja kekinian kan gitu, sukanya tebar sensasi."

"Kita kerja sama aja. Saya pengin kita bertiga gabung jadi geng pencuri kece."

Hana terbelalak saat mendengar Prama yang begitu mendalami peran. Tapi mau tidak mau ia juga harus ikut bersungguh-sungguh. "Kalau kita ketahuan, kita bisa gunain kleptomania saya sebagai alasan. Jadi Pak Hartadi nggak perlu takut bakal kena hukuman dari kepala sekolah."

"Klep ... klepot apa?"

"Kleptomania, Pak. Itu kelainan yang membuat seseorang terus-menerus ingin mencuri," jelas Prama.

"Baru tau ada penyakit kayak gitu." Pak Hartadi memandangi Hana layaknya gadis itu adalah benda peninggalan leluhur yang langka. Tapi kemudian ia menggeleng, "Kalian pikir saya percaya sama cerita karangan ini?"

Hana mengentakkan kakinya ke lantai. "Kalau nggak percaya, ayo kita sama-sama ke psikolog. Biar mereka yang jelasin biar lebih meyakinkan." Gadis itu berdiri seperti benar-benar mengajak pergi. Padahal mengatakan kata psikolog saja rasanya sangat berat baginya. Hana masih takut untuk menjalani serentetan terapi yang katanya bisa mengurangi tingkat keinginannya dalam mengambil barang orang lain.

"Jadi bener kalian ingin kerja sama dengan saya?"

Diam-diam Hana menghela napas lega karena membuat Pak Hartadi percaya ternyata semudah ini.

"Ya kali kita bercanda doang, Pak. Masalah nyuri kayak gini bukan buat main-main. Kalau kita nggak diterima jadi anggota geng, video kemarin bakal saya kasih ke kepala sekolah."

Hana membenarkan ucapan Prama. "Mending lanjutin nyuri bareng kita daripada harus dipecat kan, Pak?"

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang