Bab 11

740 94 8
                                    

Begitu berhasil mengejar, Zara sigap menarik tas Prama sampai pemiliknya hampir terjengkang. Kalau tidak begitu mungkin Prama akan makin melesat dan Zara harus mengerahkan tenaga lagi untuk membuntuti cowok itu.

"Lo ngajak ribut?" Prama berbalik dan langsung membentak seseorang yang sudah membuatnya nyaris celaka.

Zara membalas tatapan nyalang Prama tanpa takut. Gadis itu sembari berkacak pinggang juga balas mendamprat, "Sini maju lo! Ribut ya ribut! Lo pikir gue takut, hah?"

Prama mengusap wajahnya. "Ya ampun, Za. Gue kira siapa. Lagian lo main tarik aja, sih. Lo nggak liat sekitaran becek kayak gini? Licin, tau!"

Zara mencebik. Tanpa diingatkan ia juga tahu jika jalanan menuju tempat parkir masih basah akibat guyuran hujan saat istirahat kedua tadi. Kaus kaki panjangnya sekarang pun tampak ada cipratan-cipratan berwarna cokelat hasil dari berlarian tadi hingga membuat betisnya merasa gatal.

"Kalau ada yang perlu diomongin panggil kali, Za. Biar gue berhenti dan bisa ngobrol bentar sama lo."

"Gue udah panggilin, lo tetep lari aja kayak ngejar setoran. Mau ke mana, sih? Semangat bener," jelas Zara setelah mengatur napas senin kamisnya.

"Ya ... gue ada urusan," jawab Prama tidak benar-benar berbohong. Ia memang ada kepentingan di rumah sakit yaitu menemani ayahnya yang masih dirawat, tapi tidak mau menceritakan yang sebenarnya pada Zara. "Ada perlu apa?" tanya Prama agar Zara tidak mencari tahu lebih lanjut lagi.

Zara lantas melepas ranselnya. Dikeluarkannya selembar kertas dan dompet. "Ini daftar belanjanya," katanya mengangsurkan kertas. "Terus, ini duitnya." Zara berganti menyerahkan beberapa lembar uang kertas dari dalam dompet.

Prama menerima tanpa kata. Cowok itu memang terlihat menekuri deretan barang-barang yang ditulis Zara, tapi sebenarnya ia sedang memantapkan hati bahwa keputusannya menawarkan diri menjadi tukang belanja ini sudah benar.

"Pram? Lo bacanya menghayati banget, deh. Kayak baru nerima surat cinta aja."

Prama mendongak dari kertas yang dari tadi pura-pura dibacanya itu. Matanya lalu beralih pada Zara yang sedang tertawa geli. Cewek seoptimis dia, sebenernya memang nggak pantes untuk disakiti.

Zara menelan ludah. Lalu ia segera menghentikan tawanya saat tahu Prama sedang menatapnya lekat sama seperti saat cowok itu mengajaknya ke UKS beberapa waktu yang lalu. Dengan mengingat bahwa selama ini Prama tidak berteman dengan siapa pun, mungkin Zaralah gadis pertama yang ditatap Prama sedemikian itu.

Lah, apaan sih gue mikir kayak begituan?

Zara menepuk pipinya sendiri agar sadar dari khayalannya. Lalu setelah berdeham anggun, Zara memutuskan untuk pulang. "Udah, ya. Gue mau balik. Lo juga katanya ada urusan, kan?"

Prama tergagap dan entah kenapa menjadi ikut berdeham. "Iya. Yuk, ke parkiran bareng aja."

Zara mengangguk dan berjalan lebih dulu di depan Prama. Meski terlihat melangkah tenang, nyatanya gadis itu sedang berusaha menyuruh otaknya untuk berhenti mengirimkan gelenyar-gelenyar aneh ke hatinya. Padahal sebelum ini, ia juga sudah pernah ke tempat parkir bersama teman laki-laki lainnya. Tapi rasanya tidak seaneh saat bersama Prama.

Jangan norak deh, Za. Lo jalan bareng ke parkiran aja baper.

"Zara."

Zara spontan memegang dadanya. Suara Prama saat menyebut namanya secara tiba-tiba membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.

"Motor lo udah kelewatan."

Zara memejamkan mata dan meneriaki dirinya bodoh dalam hati. Bagaimana ia tidak fokus dan melampaui letak parkir motornya. "Hehe, gue lupa." Zara berbalik dan menunduk saat melewati Prama.

Com(e)fortable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang