Zara keluar dari area parkir sembari bersiul pelan untuk mengusir pikiran aneh yang datang tiap kali nama Prama terbesit di hatinya. Sejak dipanggil Pak Putu kemarin, cowok itu belum menampakkan diri di hadapannya. Bahkan saat stan jus dibuka Prama juga tidak datang untuk membantu seperti biasanya.
Zara berusaha tenang, tapi ponselnya yang sedari tadi terus bergetar membuatnya sedikit terusik. "Apaan sih rame banget. Pasti anak-anak pada heboh di grup, nih. Bingung PR fisika belum pada kelar."
Bukan percakapan memohon pinjaman jawaban, juga bukan saling menyebut nama Hana atau pun sederet penghuni peringkat lima besar lainnya yang pasti PR-nya sudah selesai. Tapi pagi itu grup kelas diramaikan dengan sesuatu yang menggemparkan.Kemudian kepala Zara mendadak pening saat video dari Gilang itu ia putar. Ujung-ujung jarinya menjadi sedingin es seiring dengan lemasnya kedua tungkai. Sebelum kakinya benar-benar tidak bisa menahan pijakan, Zara cepat berpegangan pada pohon mangga.
Ingin hati menolak percaya apa yang dilihatnya. Tapi sosok di rekaman itu benar-benar menunjukkan sosok Prama. Meski pencahayaan di video tersebut sedikit remang-remang, sama seperti teman-temannya, Zara langsung bisa menebak bahwa itu Prama.
Gaya berjalannya yang selalu membukukkan pundak, gerak-geriknya saat membetulkan hodie, serta lagak lagu saat cowok itu memberantakkan toko, Zara yakin seratus persen dia adalah Prama.
"Zara!"
Gadis yang merasa dipanggil itu segera mengarahkan poninya untuk menutupi matanya yang memanas.
"Huft, untung ketemu lo di sini. Sekarang kelas kita jadi sorotan gara-gara Prama. Gue jadi malu kalau jalan sendirian. Semua kayak natap kita sebelah mata. Satu anak bikin ribut, satu kelas ikutan kena getahnya." Fanya bercerita dengan semangat tanpa peduli pada Zara yang terlihat tertekan.
"Lo udah liat video yang di-share di grup tadi, kan?" Fanya kembali berceloteh.
Zara hanya mampu mengangguk. Ingin rasanya ia menyumpal mulut Fanya dengan daun-daun mangga yang berserakan di sekitar tempatnya berdiri agar temannya itu diam.
"Emm ... maaf nih, Za. Ini ada gosip kalau barang yang dicuri Prama itu seputar perlengkapan buat lo jualan."
Mata Zara seketika memandang Fanya yang ada di hadapannya dengan nanap. Jadi amanah belanja yang ia berikan disalahgunakan oleh Prama? Berarti beberapa hari ini ia jualan dengan bahan-bahan yang didapat dengan cara kotor?
Hati Zara mencelus. Prama yang ia anggap tulus membantu justru menusuknya dari belakang.
"Nggak usah dijawab, deh. Kita ke kelas aja, yuk. Maaf gue udah ngomong lancang."
Zara mengibaskan lengannya yang digandeng oleh Fanya. "Lo aja yang ke kelas sendiri," pungkasnya lalu pergi meninggalkan Fanya.
***
Berjualan adalah cara Zara bicara, menyentuh, dan menjangkau orang tuanya. Dari yang semula terpaksa, hingga akhirnya ia merasa nyaman menjalani ini semua. Namun dengan semaunya sendiri Prama menodai perjuangan gadis itu.
Pergi menjauh dari masalah alih-alih menghadapinya mungkin terdengar pengecut, tapi untuk saat ini Zara butuh ketenangan. Di ruangan serba putih inilah Zara berada. Sekali bolos pelajaran tak apa, pikirnya. Toh iya hanya berdiam diri di UKS, tidak kelayapan di luar sekolah.
"Tadi ulangan dadakan biologi. Gue bingung harus ngarang alasan apa karena lo nggak masuk kelas tanpa surat izin. Gue cari-cari ternyata lo di sini.
Zara menyibak selimut yang menutupi seluruh badannya. Zara melihat ada Hana yang sudah berdiri di hadapannya sambil bersedekap. "Gue titip surat izin ke anak PMR yang tadi jaga di sini. Emang nggak dianter ke kelas?"
Hana menggeleng.
Zara lantas mendecak lalu berbalik hingga kini posisinya membelakangi Hana. Gadis itu tahu apa yang akan Hana bicarakan setelah ini. Karena itu Zara enggan mendengarkannya.
"Gue harap lo nggak langsung percaya sama kabar yang sekarang lagi heboh-hebohnya. Setelah diusut, video tadi yang pertama kali nyebarin itu Edgar, anak XI IPS 2. Bisa jadi Edgar punya dendam pribadi sama Prama makanya dia bikin fitnah."
Zara tetap bergeming.
"Meski semua nuduh kalau Prama juga nyuri di sekolah, gue harap kita berdua tetap ada di samping Prama buat dukung dia. Guru-guru masih nyelidikin, semua belum pasti. Kita temen Prama, Za."
"Nggak! Gue nggak sudi temenan sama pencuri!" bentak Zara.
Walau tidak juga menatapnya, tapi Hana yakin kini Zara sedang menangis. "Kita omongin baik-baik dulu. Kalau Prama emang bener-bener masuk ke toko itu, pasti ada alasannya. Masa lo lupain gitu aja momen kebersamaan kita beberapa hari lalu? Prama selalu bantuin lo, Za. Dia nggak mungkin ada niat jahat."
"Udah deh, Han! Lo nggak perlu balain pencuri nggak tahu diri kayak Prama."
Hana berjalan memutari ranjang agar ia bisa melihat wajah Zara. Benar saja, temannya itu menggigit bibir dan air mata sudah membanjiri pipinya. "Kita minta Prama cerita semuanya, baru lo bisa ngehujat dia seenaknya kalau emang bener dia salah."
Zara bangkit dari posisi miringnya. "Lo, temen baik gue justru ada di pihak Prama? Di sini gue yang rugi, Han! Pelanggan gue yang baru seupil langsung kabur karena ngira jus gue nggak halal. Kenapa sih lo nggak bisa ngertiin gue? Lo bukannya ngehibur malah nyuruh gue percaya sama Prama."
Menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan, Hana siap berterus terang. Entah apa konsekuensinya, itu bisa dipikir nanti. Yang penting sekarang ia harus menyelamatkan hubungan pertemanannya yang sudah ada di mulut jurang. Disentil prasangka sekali lagi, terjunlah persahabatan itu ke dalam dasar kehancuran.
"Jadi menurut lo semua pencuri berdosa meski ada faktor lain yang mempengaruhi mereka?"
"Faktor lain apaan?" Zara bertanya malas-malasan.
"Kleptomania, kayak gue."
Zara refleks beringsut menjauhi Hana. Hana yang melihat kesigapan Zara yang seperti diserang musuh itu pun tersenyum miris. "Sekarang lo juga mau ngehindar dari gue yang udah banyak nyolong barang-barang ini? Waktu itu, masalah penghapus, gue bukan mau usil. Gue emang mau bawa pulang. Termasuk earphone Tamara, gue juga yang ambil."
Zara menutup telinganya. Perasaannya sangat kacau. Teman yang ia kira baik luar dalam nyatanya punya rahasia besar yang baru dibeberkan sekarang.
"Mungkin kalau setelah ini lo nggak mau berteman sama gue, gue bisa ngerti. Karena lo nggak mau temenan sama pencuri."
Zara menyurukkan kepalanya ke bantal, tidak ada kekuatan lagi untuk mengejar Hana yang keluar ruangan dengan kepala tertunduk. Hati mereka sama-sama patah dan belum siap untuk saling menguatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Com(e)fortable [END]
Fiksi RemajaMenjadi anak kandung tapi tak disayang, menjadikan Zara bertekad membuktikan diri. Bersama dua sahabat, Hana yang memiliki rahasia dan Prama dengan pelik keluarga hingga dicap pencuri. Kedai jus merupakan pembuktian Zara. Bersama dua sahabat, ia ber...