Club ini ramai, tapi tentu saja tidak akan ada yang akan menghujat dua orang yang sedang berciuman panas di salah satu sudut lantai dansa. Itu hal yang sudah sangat biasa terjadi. Benar, normalnya tidak akan ada yang peduli. Jadi Hatta sedikit kesal saat sebuah tepukan di pundak memaksanya harus melepaskan tautan bibirnya dengan Michele -- salah satu model yang bekerja di proyek yang sama dengannya tadi siang.
Sayangnya umpatan yang sudah siap Hatta lontarkan justru tertelan kala mendapati siapa pelaku penepukan pundak itu.
Elang, dengan wajah seriusnya yang kali ini terlihat menyebalkan di mata Hatta.
"Bokap lo telepon!" Elang sedikit berteriak.
"Hah?!" Hatta balas berteriak.
Elang menarik Hatta, mendekatkan bibirnya ke telinga Hatta, "Bokap lo telepon!" ulangnya sambil menyodorkan ponselnya.
Hatta meraih ponsel itu, berpamitan kepada Michele dan Elang. Dia berjalan cepat ke arah lorong yang cukup sepi.
"Halo?"
'Halo, kenapa gak angkat telepon papa?'
"Aku tidak membawa ponsel," dusta Hatta. Sebenarnya dia membawa ponsel di saku celana, hanya saja ponselnya dalam mode silent, jadi dia tidak tahu Rizwar meneleponnya. Ah sebenarnya walaupun ponselnya tidak dalam mode silent kemungkinan Hatta mendengar nada deringnya sangat kecil, mengingat kebisingan tempat ini. "Ada apa?" tanya Hatta mengalihkan pembicaraan sekaligus memutus basa basi sang ayah.
'Kamu pulang ke Malang sekarang bisa?'
Dahi Hatta berkerut mendengar permintaan ayahnya. Heran dengan sikap keluarganya akhir-akhir ini. Ayolah, dia sudah hampir sepuluh tahun menetap di Jakarta -- meski lima tahun lalu sempat kembali ke Malang. Dan baru beberapa bulan terakhir ini keluarganya rewel ingin dia sering pulang. Enam bulan lalu dia diminta pulang secara mendadak oleh Rizwar. Lima bulan lalu giliran ibunya yang memintanya pulang, bahkan dia juga harus ikut berlibur ke tempat kakek Hamzah.
"Kenapa?"
Hatta bisa mendengar suara samar tarikan nafas ayahnya di ujung sana.
'Hamzah sakit, dia nanyain kamu. Mungkin pengen ketemu.'
'Oh jadi sekarang giliran si uler yang jadi alasan. Sakit? Sakit karena kangen gue?' batin Hatta. Dia tersenyum miring menyadari betapa berlebihannya alasan sang ayah kali ini. Dia tidak tahu sejak kapan sang ayah pandai mengada-ngada.
"Dimana dia? Bisa video call kan?" Hatta sebenarnya heran dengan dirinya sendiri yang menanyakan hal itu. Apa dirinya mulai peduli pada Hamzah? Hatta menelan ludah, menampik perasaannya sendiri, meski jujur saja beberapa hari ini dia cukup sering memikirkan Hamzah. Lengkap dengan segala masa lalu kelam itu.
Jeda sejenak sebelum Rizwar kembali menyahut,'Dia sepertinya pengen ketemu langsung. Masa kamu gak bisa pulang? Jenguk adek kamu.'
Adik?
Hatta bahkan ragu apa dia pernah bersedia menganggap Hamzah adiknya. Lagipula kenapa Hamzah rewel sekali saat sakit?
"Aku tidak di Indonesia."
'Kamu dimana?'
"LA."
'Sampai kapan?'
"Kurang tahu," Hatta mulai berhitung, sebenarnya kemungkinan empat hari lagi dia sudah menyelesaikan pekerjaannya, itupun jika semua berjalan lancar. Tapi dia dan Elang berencana untuk berlibur selama seminggu disini pasca proyek itu selesai. "Mungkin masih dua minggu lagi, mungkin. Paling cepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyangkalan (Complete)
General Fiction(Ada kalanya saat manusia tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan menyakiti orang lain. Bahkan seringkali mereka akan merasa tersakiti, merasa sebagai sosok paling benar yang sering mendapat perlakuan salah) Sejak pertama kali Hatta memahami a...