"Gak bawa motorlah aku, sek belom boleh sama papa (Aku tidak membawa motor, masih belum boleh sama papa)...Gak wis, mati aku entik dihajar papaku (Gak deh, mati aku nanti dihajar papaku)..." Hamzah terkekeh, sibuk dengan panggilan ponselnya hingga mengabaikan Hatta yang masih berada dalam studio.
Akhir-akhir ini keduanya sering bersama di dalam sana, walaupun mereka tidak banyak bicara namun pekerjaan tetap lancar. Elang juga terkadang bergabung, Hatta sudah menceritakan rencananya dan Elang kepada Hamzah. Mereka akan memulai karir solo Hatta dengan Elang sebagai managernya. Untuk saat ini, Elang sudah bergerak mencari agensi yang berani menerima Hatta ketika kontraknya dengan agensi lama masih belum berakhir secara resmi. Jika nanti berhasil, lagu-lagu yang Hamzah dan Hatta ciptakan bisa coba diajukan untuk dirilis dalam bentuk album fisik di bawah naungan agensi baru dan label yang bekerja sama dengan mereka.
Hingga saat ini, sudah ada satu lagu yang selesai. Yaitu lagu yang Hamzah buat beberapa hari lalu. Namun liriknya diubah di beberapa bagian oleh Hatta. Hatta juga sudah membuat versi demo yang baru sendiri, semua dilakukan di studio Hamzah. Sebenarnya, bisa saja recording dilakukan di tempat Hamzah -- bahkan Elang sempat bercanda menyinggung itu agar biaya lebih rendah. Namun Hamzah ragu, dia merasa dirinya belum cukup mumpuni untuk itu. Dia takut tidak bisa menuntun Hatta melakukan recording dengan baik.
"Ya wis besok ta' minta dianter ae, kamu tunggu ndek MOG ae (Ya udah, besok aku minta diantar aja, kamu tunggu di MOG aja)...Oke...yooo," pada akhirnya Hamzah mematikan sambungan telepon dengan temannya.
"Mas, besok aku mau ke MOG bentar. Mau ikut?" tawar Hamzah setelah menimbang selama beberapa saat. Sebenarnya dia tidak yakin untuk mengajak Hatta, namun dia pikir Hatta mendengar percakapannya di telepon sejak tadi jadi tidak sopan rasanya jika tidak menawari kakaknya itu.
"Gak," jawab Hatta singkat.
"Oh ya udah."
*
Sore yang tenang di kediaman Renaldy sedikit berubah ketika Hera mulai menciptakan ketegangan.
"Kenapa kamu?" tanya wanita itu, memanggil Aris -- si tukang kebun -- dan meminta remaja itu mengambil alih pekerjaannya. Sementara dia bergegas menghampiri Hamzah yang berjalan sedikit pincang dengan senyum tanpa dosa.
"Kenapa lagi Za?" Hera mengulang pertanyaannya karena sebelumnya Hamzah tidak menjawab apapun.
"Jatoh...lagi," jawab Hamzah santai.
Hera menghela nafas, "Barusan pulang sama siapa?"
"Taksi."
"Ayo masuk, ke kamar kamu aja," Hera menuntun anaknya meski sebenarnya Hamzah bisa-bisa saja jalan sendiri, keduanya memasuki rumah. "Papa kamu nanti marah lagi," gumam Hera.
"Ya namanya kecelakaan," sekali lagi Hamzah menyahut kelewat santai.
"Kan udah dibilangi jangan bawa motor."
"Bukan aku yang bawa, Rifky yang nyetir. Ya gimana ma, namanya juga lagi kena musibah," Hamzah sebenarnya jengah jika Hera mendadak cerewet seperti ini, namun dia takut Hera sakit hati jika dia melawan, jadi dia menampilkan cengiran gusinya sejak tadi.
"Rifky gimana?"
"Sama, luka-luka, gak papa sih. Pada pake helm tadi. Tapi tadi dijemput kakaknya masih ke bengkel naruh motor, mau dibenerin."
Sebenarnya Hera ingin bertanya lebih banyak, namun kasihan juga jika dia memaksa sang putra untuk menceritakan kembali kasus tidak mengenakkan yang baru dialaminya.
"Ya udah kamu ke kamar, mama ambil p3k dulu. Gitu tadi gak diobatin."
"Cuma kegores ma."
"Sana ke kamar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyangkalan (Complete)
Fiksi Umum(Ada kalanya saat manusia tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan menyakiti orang lain. Bahkan seringkali mereka akan merasa tersakiti, merasa sebagai sosok paling benar yang sering mendapat perlakuan salah) Sejak pertama kali Hatta memahami a...