2.26 Ketika Dia Pergi

1.1K 56 4
                                    

Beberapa saat setelahnya, ketegangan dalam ruangan itu menurun. Keputusan final dokter adalah kalimat yang tidak akan pernah sampai ke telinga bungsu keluarga Renaldy itu. Seorang perawat yang mulai mencatat waktu kematian, penyebab kenapa Hamzah tidak dapat diselamatkan juga detail lainnya sementara perawat yang lain mulai bersiap merapikan alat dan membawa tubuh Hamzah keluar.

Pintu ruangan ICU terbuka. Wajah waspada Rizwar dan tatapan menyelidik dari Hera adalah hal pertama yang dokter itu dapatkan begitu keluar. Tidak butuh waktu lama untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Sang dokter sudah beberapa kali menghadapi hal semacam ini sebelumnya, sudah lebih dari terbiasa. Dia melangkah maju, mengucapkan bela sungkawa seadaanya ketika memberitahukan bahwa putra kedua orang di hadapannya sudah kembali kepada Sang Pencipta. Kalimat berikutnya yang dia ucapkan seperti sebuah prosedur yang biasanya dilakukan, tentang bagaimana keduanya bisa melihat putranya di kamar jenazah beberapa saat kemudian, tentang bagaimana prosedur perawatan jenazah berikutnya diserahkan kepada pihak keluarga -- mereka bisa membawanya pulang atau membiarkan rumah sakit mengurusnya.

"Kami akan membawanya pulang, kami akan memandikannya sendiri," sahut Hera cepat, menyela sebelum Rizwar memberi keputusan. Dan untungnya Rizwar menyetujui itu.

Sepeninggal dokter keduanya justru termenung, hingga mereka menoleh ketika pintu ruang ICU dibuka dan para perawat mendorong brankar yang di atasnya tengah terbaring seseorang dengan seluruh kain putih menutupi tubuh. Hera merangsek maju, sekedar ingin memastikan bahwa itu adalah Hamzah, sekedar ingin memastikan bahwa si bungsu itu memang sudah tak lagi bernafas. Namun Rizwar cepat menahan tubuhnya, memeluk Hera erat.

"Nanti Ra, nanti," bisik Rizwar dengan suara bergetar. Dia juga ingin melihat putranya, namun dia tidak ingin sang istri menangis histeris di depan umum jika kain putih itu disingkap saat ini. Rizwar mengangguk kepada para perawat, memberi isyarat agar mereka segera membawa Hamzah pergi. Ah bukan, lebih tepatnya jasad Hamzah.

Hera bersiap berontak, namun urung begitu melihat sorot mata Rizwar. Yang dia lakukan pada akhirnya hanya menangis dalam dekapan Rizwar. Tidak lama, karena dia sadar masih banyak yang harus dilakukan. Hera melepaskan pelukan dari Rizwar, membuat Rizwar secara otomatis menghentikan usapannya di punggung sang istri.

"Mau...dimakam dimana...mas?" tanya Hera, suaranya sudah cukup parau meski hanya menangis dalam kurun waktu singkat.

Benar juga.

Hamzah memang putra Rizwar, namun sejak awal semua tahu dimana Hamzah lahir. Dan di sana jugalah jasad sang ibu terkubur. Mendadak Rizwar seolah disadarkan atas hal itu. Selama ini mereka memang tidak pernah membicarakan masalah pemakaman.

"Aku minta pendapat Bapak dulu. Kamu kabari yang lain. Telepon Hatta Ra. Rezka juga masih di rumah, minta dia bantu ngurus tempat di rumah, kalopun Bapak minta Hamzah dimakam di sana tetep kita mampir rumah dulu. Bilang sama Rezka dia bisa minta tolong orang rumah buat bantu ngurus. Makanan, bunga, meja kursi segala macem, kamu arahin mereka buat urus," Rizwar berhenti sejenak. "Kabari Rifky juga, kapan hari kamu bilang dia nanyain Hamzah."

Hera hanya mengangguk menanggapi perintah panjang Rizwar sebelum berbalik dan mulai menghubungi orang-orang.

Rizwar menarik nafas dalam, jemarinya kini sudah memegang ponsel. Mencari serentetan nomor yang akan dia hubungi. Ada nada tunggu cukup lama sampai akhirnya teleponnya diangkat.

'Halo?'

Suara itu terdengar menggetarkan, mata Rizwar memanas, rasanya dia sudah sangat ingin segera mengadu. Sekali lagi Rizwar menghela nafas sebelum mulai berbicara.

"Halo. Pak, niki kulo, Rizwar (Halo. Pak, ini saya, Rizwar)," Rizwar memberitahukan identitasnya. Mengingat nomor yang dia hubungi memang nomor telepon rumah Setyo, yang tidak memungkinan bagi Setyo untuk tahu siapa yang meneleponnya.

Penyangkalan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang