2.20 Keputusan dan Permintaan Selanjutnya

428 49 23
                                    

Ini mimpi?

Benar, rasanya ini terlalu fana untuk menjadi nyata. Tapi sayangnya Hamzah terlalu bahagia dan jika ini benar-benar mimpi dia memilih untuk tidak bangun.

"Mas disini?" tanya Hamzah ragu.

Di hadapannya, Hatta yang berdiri di sebelah ranjang hanya menatapnya dengan tampang tabah nyaris tanpa ekspresi,  masih tidak mengatakan apapun.

"Mas..."

"Kalo kamu gak mau pulang aku yang bawa kamu pulang," potong Hatta -- masih tanpa ekspresi.

Lelucon macam apa ini?

Perangkap apa yang tengah Hatta ciptakan untuknya?

Pikiran negatif itu terus terlintas di benak Hamzah. Namun sisi dirinya yang lain -- yang tidak mengedepankan kewaspadaan -- justru menikmati momen yang membuatnya bahagia ini. Dia tidak peduli jika Hatta hanya berniat mempermainkan perasaannya, menyenangkan hatinya dengan memakai kalimat yang lebih lembut dari yang sudah-sudah, hingga tidak memakai panggilan 'lo-gue' seperti yang belakangan sering dia dengar, juga tidak mengatakan kata kasar padanya. Gaya bicara Hatta memang masih sama dinginnya, namun itu bukan masalah bagi Hamzah.

Lengkungan senyum tipis menghiasi wajah Hamzah.

"Ayo pulang."

Seolah disadarkan, kening Hamzah berkerut mendengar ajakan Hatta.

Pulang kemana?

Kenapa sejak tadi Hatta mengajaknya pulang?

"Pulang kemana?" akhirnya Hamzah bertanya.

"Rumah."

Hamzah memandang berkeliling, merasa tempat ini familiar namun asing di saat bersamaan. Ranjang yang tidak terlalu luas yang dia tiduri saat ini, selimut biru muda yang membalut tubuhnya, selebihnya dia tidak dapat melihat dengan jelas apa yang ada di sini seolah itu semua tidak penting. Sekali lagi Hamzah mengalihkan tatapan kepada sang kakak yang terlihat begitu rupawan.

"Kita pulang sama-sama?" tanya Hamzah lagi.

"Hmm."

Tanpa berpikir lagi Hamzah segera bangkit dari pembaringannya. Dia duduk di tepi ranjang, sedikit ragu ketika pandangannya memburam dan tidak bisa melihat jelas lantai di bawah kakinya. Bukannya seharusnya dia membutuhkan alas kaki? Tapi fokusnya memandang lantai teralih ketika sebuah tangan terulur di depannya, Hamzah mendongak, mendapati Hatta tersenyum tipis sambil tetap mengulurkan tangan kanan.

Senyum itu nyaris tidak pernah Hamzah lihat sebelumnya, kalaupun dia melihatnya pun itu pasti tidak ditujukan untuknya. Seolah tersihir oleh senyuman Hatta, tanpa ragu dia menyambut uluran tangan Hatta kemudian melangkahkan kakinya mengikuti sang kakak tanpa mencari alas kaki lagi.

*

Cahaya yang matanya terima reflek membuat Hamzah mengerjap. Tubuhnya terasa kaku dan lelah, matanya juga berat. Sejenak Hamzah putus asa, biarpun mengerjapkan matanya berkali-kali namun rasanya cahaya di sekitarnya tetap terasa menyiksa. Pada akhirnya dia memilih untuk memejamkan mata selama beberapa saat. Menit-menit berlalu, dia bisa mendengar suara samar aktifitas manusia di sekitarnya, juga bisa mendengar ritme dan dengungan teratur dari entah apa. Dalam kondisi mata terpejam Hamzah merasa tidak nyaman dengan udara yang dia hirup, akhirnya lelaki itu berusaha sekali lagi membuka mata, dia mengedarkan pandangannya dan tidak menemukan siapapun. Selain menyadari bahwa ritme teratur dan dengungan samar yang didengarnya berasal dari alat medis yang berfungsi memonitor kondisi tubuhnya, Hamzah tidak tahu namanya dan tidak peduli. Lagi, dia kembali memejamkan mata setelah merasa cukup dengan apa yang dia lihat. Tadi ketika baru membuka mata, Hamzah seolah diserang rasa gelisah mendapati dirinya berada di tempat yang tidak dia ketahui, sendirian pula. Namun lambat laun otaknya mulai bekerja. Seolah berusaha menyadarkannya bahwa kemungkinan dirinya ada di salah satu kamar rawat entah dimana, menilik dari banyaknya peralatan medis di sekitarnya. Dan lagi, di mulut dan hidungnya terpasang masker oksigen, pantas dia merasa tidak nyaman.

Penyangkalan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang