2.21 Lamunan

399 52 0
                                    

Hamzah menatap hamparan kebun cengkeh dan kopi di bawahnya. Tidak terlalu indah untuk dipandang sebenarnya, jika saja bunga kopi itu tidak sedang mekar dan menunjukkan semburat putih jika dilihat dari jarak ini tentu tanaman itu tidak akan menarik perhatian Hamzah. Belakangan, Hamzah hanya merasa bahwa dia perlu memberi perhatian pada hal-hal yang biasanya dia lewatkan. Seringkali dalam hidupnya lelaki itu terlihat serakah, melakukan banyak hal, berlari demi mencapai apa yang ingin diraihnya. Sesuatu yang dia pikir akan membuat dirinya hebat, membuat orang lain mengakuinya dan membuat keluarganya bangga. Meski tentu saja terkadang dia masih melakukan apa yang dia inginkan. Kini, dia memutuskan tidak berlari terlalu kencang. Dia merasa perlu berhenti sesekali, menyadari apa yang sudah dia dapatkan, menikmati dan mensyukurinya. Dia tidak ingin terlalu serakah untuk mengejar banyak hal hingga dia lupa merasa puas.

Dulu ketika Hamzah kecil, dia merasa Setyo itu hebat. Dia merasa bahagia sekali ketika berlari-lari dengan Farid, bermain di sudut-sudut tertentu wilayah luas perkebunan Setyo tanpa merasa takut dibully -- selama ada Farid di dekatnya. Namun tidak dapat dipungkiri, seiring bertambahnya usia dia tahu bahwa kehadirannya memang tidak begitu disukai. Setidaknya, beberapa orang yang bekerja pada Setyo akan tetap berpihak padanya karena mereka tahu lebih banyak dan dapat menilai dari sudut pandang mereka sendiri. Tapi bagaimanapun juga penduduk kampung di luar sana yang tidak mengerti apapun lebih banyak jumlahnya dibanding orang yang membelanya. Dan tentunya orang-orang itu terus menggunjingkan ibunya, mengutuk dirinya. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu mereka lakukan karena tidak ada urusannya sama sekali dengan mereka. Sama sekali tidak berpengaruh bagi kehidupan mereka.

Tangan Hamzah mengepal, mendadak dadanya sesak memikirkan bagaimana nasib perjalanan hidupnya. Kali ini tolong jangan bujuk dia untuk bersabar. Karena dia sudah cukup lama bersabar dan menerima. Apalagi yang bisa dia lakukan? Toh mau mengelakpun tidak bisa. Seperti itulah takdirnya. Seperti itulah keadaannya. Dilahirkan, tumbuh dan mati dengan cara yang sudah ditulis Tuhan untuknya. Hamzah berusaha mengatur nafas ketika sesak itu semakin menyiksa, pelan dia mengurut dadanya. Berharap gerakan kecil itu dapat menenangkan jantungnya.

Hamzah menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, mengulang hal itu selama beberapa kali hingga merasa lebih baik. Semilir angin berhembus menyejukkan, aroma bunga kopi terbawa hingga ke tempat Hamzah duduk. Aroma yang familiar. Dulu, Hamzah sempat menyukai aroma itu. Tidak sewangi bunga-bunga lain, tapi entah kenapa Hamzah suka. Itu membawa kebahagiaan tersendiri untuknya, bahkan menjelang hari-hari kematian ibunya. Waktu itu, Hamzah tidak sadar akan hal buruk yang akan terjadi. Dia hanyalah anak kecil yang bersenang-senang.

*

Kaki mungil Hamzah berlari cepat menuju rumah. Anak itu meringis senang menunjukkan senyum gusinya. Tidak peduli pada Farid yang berjalan di belakangnya, mengomel karena Hamzah memetik bunga-bunga kopi begitu saja.

"Mah, mamah!" Hamzah berteriak kencang. Beberapa saat kemudian anak itu terdiam di tempat, memandang balik mbak Ati yang memberi isyarat agar dia lebih tenang.

"Adek jangan tereak, mamah istirahat," bujuk mbak Ati lembut.

Hamzah mengangguk paham, "Mamah masih sakit?" tanyanya yang dijawab anggukan mbak Ati.

"Mau kasih ini buat mamah," ujar Hamzah sambil menyodorkan wadah berisi bunga kopi di tangannya.

Mbak Ati mengangguk, diam-diam terharu dengan niat Hamzah. Dia tahu, walau Hamzah terlalu kekanakan -- biasanya lebih kekanakan dan manja dibanding anak seusianya -- namun dia menyayangi semua orang di sekitarnya.

"Adek jangan berisik ya, jangan bangunin mamah," pesan mbak Ati sebelum Hamzah memasuki kamar Iva.

Di dalam kamar, Hamzah mendapati ibunya tengah memejamkan mata dengan raut gelisah, seperti tidak tidur dengan nyenyak. Takut-takut Hamzah mendekat. Dia tidak tahu kenapa, hanya saja dia mendadak merasa sedih. Tanpa diperintah air matanya mengalir. Bagaimanapun, dia hanya anak kecil, Hamzah tidak dapat menyembunyikan isakannya. Semakin dekat dengan ranjang sang ibu, tentu suara isakan Hamzah terdengar semakin jelas di telinga Iva. Wanita berwajah kalem itu membuka matanya yang terlihat sayu, terkejut mendapati sang putra yang sudah menangis tidak karuan. Batinnya mulai bertanya apa yang kira-kira terjadi pada Hamzah. Apakah dia dibully lagi?

Penyangkalan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang