2.3. Ketika Mereka Berbicara (Rizwar-Hera)

427 56 12
                                    

"Kamu seharusnya nggak ngomong gitu sama Hamzah mas," tegur Hera ketika dia mendekati Rizwar setelah Hamzah pamit untuk mengganti seragamnya. "Dia mikir mas cuma peduli sama Hatta."

Rizwar menatap Hera, sebenarnya dia juga sadar bahwa raut wajah Hamzah berubah ketika dia mengatakan tentang harapannya kepada si bungsu untuk membuat si sulung kembali bangkit.

"Iya, aku salah. Tapi mereka udah dewasa, mau sampe kapan iri sama saudara?"

Hera tidak langsung menjawab, wanita itu menarik tangan Rizwar hingga keduanya sampai di sebuah ruangan yang seringkali Hera pakai untuk bersantai atau menyambut teman-temannya ketika mereka berkunjung. Setidaknya ruangan ini cukup aman untuk dijadikan tempat berdiskusi.

"Mas lupa gimana Hatta dulu waktu seusia Hamzah sekarang? Jangankan dulu, sampai sekarangpun bisa jadi Hatta masih nyimpen rasa iri. Anak-anak kita seperti itu mas."

Itu benar.

Entah apa yang salah dengan cara mereka mendidik kedua putra mereka. Rizwar rasa dirinya sudah cukup adil memperlakukan keduanya. Bicara tentang adil, di matanya adil bukan berarti harus sama melainkan dapat sesuai dengan porsinya. Dan dia menerapkan keyakinan itu sebagai dasar perlakuan pada kedua putranya.

Jadi apa Rizwar tetap bersalah?

Sebenarnya jika harus dirunut sebab akibat atas yang telah terjadi -- penyebab rasa iri antara satu sama lain putranya -- mungkin Rizwarlah pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, karena memilih menikah untuk kedua kalinya. Memberikan tekanan dan kekecewaan kepada Hatta, memicu perlakuan tidak menyenangkan bagi Hamzah. Atau jika dia tidak ingin disalahkan karena ingin meraih kebahagiaan yang dia inginkan dengan menikahi Iva, maka mari salahkan almarhum ayah Rizwar dan orang tua Hera yang memaksa anak-anaknya menjalani pernikahan yang didasari perjodohan. Sayangnya itu adalah satu hal yang membahagiakan orang tua mereka jika akhirnya mereka menikah. Memang masalah sebab akibat ini tidak akan usai jika dirunut seterusnya. Manusia seringkali memiliki keinginan, berharap keinginannya terpenuhi sehingga dapat membuat mereka merasa bahagia bukan? Namun ada kalanya sengaja atau tidak, sadar atau tidak, terkadang keinginan itu justru menempatkan orang lain dalam penderitaan. Seperti yang sudah terjadi pada keluarga mereka. Dan kemungkinan besar terjadi pada orang-orang di seluruh dunia, dengan struktur dan masalah berbeda namun inti yang sama. Tidak ada yang bisa disalahkan karena satu sama lain hanya berusaha mencari kebahagiaan, hanya saja semua orang seringkali terlihat bersalah karena masing-masing dari mereka ingin dipahami tanpa merasa perlu memahami.

*

"Hamzah," suara tenang dan dalam Rizwar menginterupsi kegiatan berlarian Hamzah di dalam rumah.

Hatta hanya melirik, kemudian kembali menunduk mengerjakan tugasnya. Dia tahu ayahnya marah dan menurutnya Hamzah bodoh karena jarang menurut. Padahal Rizwar sudah beberapa kali menghukum Hamzah.

Hamzah baru berhenti berlari saat menabrak seorang staff administrasi restoran yang sedang membawa sebuah printer ke ruang kerja. Kepala mungil Hamzah terantuk printer tapi bocah tujuh tahun itu belum menangis, matanya berkaca-kaca dan tangannya mengusap kepalanya.

"Adek, aduh maaf mbak gak sengaja," wanita muda bernama Amanda itu bingung harus bertindak seperti apa. Dia ingin mengusap kepala si kecil Hamzah namun kedua tangannya masih sibuk membawa printernya. Terlebih saat ini ada bosnya yang tengah menemani si sulung Hatta belajar di ruang tamu dan pastinya Rizwar melihat itu. Rasanya Amanda ingin menghilang saja.

"Gak papa, udah kamu masuk aja," ujar Rizwar menghampiri mereka, menggendong Hamzah yang bersiap menangis.

"Maaf Pak," ucap Amanda sekali lagi sebelum melangkah memasuki ruang kerja.

Penyangkalan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang