1.5 Cerita Mama

1.1K 110 14
                                    

Mobil yang ditumpangi Hatta dan Elang mulai memasuki komplek Araya. Semakin dekat dengan rumah semakin perasaan Hatta tidak karuan. Tepat ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah mewah Rizwar, campuran berbagai perasaan itu seolah bergabung menyerang Hatta hingga dia enggan beranjak dari duduknya. Hatta memandang rumahnya, mendengar samar pembicaraan dan ucapan terima kasih yang Elang ucapkan pada sopir taksi online.

"Ta?" Elang meletakkan tangannya di pundak Hatta dan mengangguk saat Hatta menoleh padanya.

"Makasih pak," ujar Hatta saat turun dari mobil.

Keduanya berjalan menuju gerbang, Hatta sempat melirik bendera yang diletakkan di pojok pintu gerbang -- penanda bahwa rumah itu tengah berkabung -- dan ada rasa tidak nyaman dalam hatinya. Dulu, dia pernah menonton sebuah film dimana dia melihat ada bendera semacam itu terpasang. Dan dia pernah membayangkan bahwa suatu hari saat dia pulang dia akan disambut dengan hal semacam itu.

Hatta sungguh pernah membayangkannya, itu salah satu ketakutannya karena dia berada di tempat yang jauh dari rumah meski sebenarnya itu bukan sesuatu yang dia ingin alami. Dan kini nyatanya dia benar-benar mengalaminya, yang tidak pernah dia duga bahwa yang pergi meninggalkannya lebih dulu adalah sang adik.

Beberapa detik setelah Hatta menekan bel, salah satu pembantunya datang untuk membuka pintu. Hatta melangkah pelan memasuki halaman setelah mengangguk kepada pembantu yang berniat membawa kopernya dan Elang masuk. Beberapa langkah sebelum memasuki rumah, Rizwar keluar dari pintu utama untuk menyambutnya. Mata Hatta memanas saat sang ayah memeluknya erat dan mengusap punggungnya, dia membalas pelukan sang ayah. Hatta tidak tahu pasti siapa yang menenangkan siapa disini. Seingat Hatta, dirinya baik-baik saja, atau setidaknya dia sudah mencoba memasang wajah baik-baik saja. Jadi kesimpulannya mungkin sang ayah tengah menenangkan diri sendiri.

Dalam pikiran sadarnya, Hatta masih enggan menunjukkan bahwa saat ini dia juga merasa kehilangan atas kematian Hamzah. Karena hingga detik inipun, secuil ego itu tetap tidak mampu Hatta singkirkan hingga sepenuhnya bersih dari sudut hatinya.

Di perjalanan memasuki rumah, Elang mengucapkan belasungkawa kepada Rizwar. Hatta sendiri lebih memilih berjalan lebih dulu, dia dapat melihat beberapa orang yang tidak dia kenal di dalam rumah, para pelayat mungkin.

"Sakit om?" tanya Elang hati-hati setelah mengucapkan belasungkawa dan do'anya.

"Iya...kanker," jawab Rizwar seraya memberi senyum yang terlihat lelah di mata Elang.

Serta merta Hatta menoleh mendengar kata terakhir Rizwar, menatap ayahnya lamat dengan dahi berkerut.

"Hamzah sakit kanker?" tanyanya.

Rizwar mengangguk, "Iya, udah lama Ta."

Dan rasanya Hatta seperti dijatuhkan dari tebing yang cukup tinggi mendengar kalimat yang baru diucapkan sang ayah.

Sudah lama? Apa dia menjadi satu-satunya yang tidak tahu?

Ingatan Hatta melayang ke kenangan empat hari lalu ketika sang ayah pertama kali menelepon, memintanya pulang karena Hamzah sakit.

'Jadi sakit yang waktu itu...'

"Kamu mau istirahat? Atau mau ketemu mama kamu dulu? Mama ada di dapur," Rizwar mengusap pundak Hatta sebelum beralih kepada Elang. "Elang istirahat dulu aja, nanti malem nginep sini ya?" dan Rizwar juga mengusap pundak Elang, memperlakukannya sama seperti putranya.

*

Di salah satu ruangan dalam rumahnya, kini Hatta tengah duduk berhadapan dengan Hera. Beberapa menit lalu Elang pamit untuk istirahat di salah satu kamar yang disiapkan untuknya, sekaligus memberi kesempatan kepada Hatta untuk bersama keluarganya. Hera tahu, ada hal-hal yang ingin Hatta ketahui. Mata dan jemari putranya tidak bisa berbohong. Hanya saja Hera tidak tahu bagian mana yang ingin putranya ketahui terlebih dahulu.

Penyangkalan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang