Pandangan Rizwar tertuju pada Hamzah yang tengah tertidur di kursi. Bisa jadi putranya itu kelelahan hari ini -- dan mungkin di hari-hari lain juga. Rizwar mendekat, berusaha bergerak sepelan mungkin agar tidak membuat Hamzah terbangun. Dia berjongkok di depan Hamzah, mengamati sang putra yang terlihat semakin kurus. Jemarinya bergerak untuk merapatkan jaket hitam Hamzah ketika Hamzah mendadak terkesiap dan terbangun karena gerakan Rizwar.
"Pa?"
"Hmm?" Rizwar memutuskan untuk kembali merapatkan resletting jaket Hamzah. Kepalang tanggung, toh Hamzah sudah terbangun.
"Papa kapan dateng?"
"Barusan."
"Mama kamu kemana?"
"Beli makan."
"Kamu capek? Tidur di kamar?"
"Enggak, nunggu makan. Laper."
Imut sekali Hamzah yang seperti ini. Terlihat patuh dan seperti anak kecil. Gerak gerik Hamzah saat ini menggoda Rizwar untuk mengusap rambut putranya itu dan tentu saja Hamzah tidak menolak. Sepertinya lelaki itu belum sepenuhnya kembali dari alam bawah sadar.
"Gimana terapinya?" tanya Rizwar sambil duduk di salah satu kursi dekat Hamzah.
Kening Hamzah berkerut, apa ayahnya tidak salah bertanya? Kesadarannya telah terkumpul sempurna kala dia menyahut, "Kan papa sama mama yang lebih tahu."
Tidak ada sahutan yang Rizwar berikan. Ya, dia memang lebih tahu, justru dialah yang paling tahu bagaimana perkembangan terapi yang Hamzah jalani setahun ini. Dan karena itulah dia datang ke Singapura tadi pagi. Meninggalkan semua pekerjaannya, bertekad untuk meluangkan waktu demi mengurus pengobatan Hamzah.
"Pa?"
"Apa?"
"Aku mau kerja."
"Ya kan selama ini kamu kerja."
"Kayak dulu."
"Di Malang?"
"Ya."
"Dari sini kan bisa? Lagipula papa tetep gaji kamu," Rizwar membelokkan percakapan, dia tahu Hamzah ingin kembali ke Malang. Tapi tidak untuk sekarang, di matanya Hamzah masih sanggup dan harus berjuang. Mati-matian Rizwar menyingkirkan pendapat-pendapat yang semalam Hera jabarkan, hasil penilaian Hera dan tim medis.
"Itu masalahnya, gaji yang papa kasih sama, tapi kualitas kerjaku beda sama dulu."
"Namanya orang kerja mau gimanapun modelnya, turun gaji itu nyaris gak mungkin kejadian. Udah, lainnya anggep uang saku."
Hamzah mendengus. Terkadang ayahnya terdengar menyebalkan ketika berdebat, tidak mau kalah. Baiklah, dia tahu Rizwar benar dan ayahnya itu akan selalu menang, tapi sekarang Hamzah ingin pulang. Entah apa yang dia rindukan. Meskipun disini ada Rifky -- salah satu orang yang akan membuatnya nyaman -- tapi dia masih merasakan dorongan kuat untuk pulang. Hamzah hanya merasa disini bukan tempat yang seharusnya. Dia tidak tahu kegelisahan apa yang dia miliki, Hamzah hanya mendadak merasa tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyangkalan (Complete)
Ficción General(Ada kalanya saat manusia tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan menyakiti orang lain. Bahkan seringkali mereka akan merasa tersakiti, merasa sebagai sosok paling benar yang sering mendapat perlakuan salah) Sejak pertama kali Hatta memahami a...