"Sido sampeyan gowo nangdi arek iku? (Jadi kamu bawa kemana anak itu?)," tanya Setyo pelan.
"Ten Singapore Pak, larene milih ten mriko (Ke Singapore Pak, anaknya milih di sana)," jawab Rizwar.
"War, dampingi terus ya le (War, didampingi terus ya)," Setyo berpesan, menatap dalam mata menantunya.
"Inggih Pak (Iya Pak)."
"Berangkat kapan?"
"Mbenjing dalu (Besok malam)."
Setyo mengangguk, "Bapak membantu do'a ya, kalau ada apa-apa kamu kabari."
"Inggih (Iya)," jawab Rizwar seraya mengangguk. "Nyuwon pandonganipun ingkang kathah Pak, kulo sampun mboten nggadha sopo-sopo maleh (Minta do'anya yang banyak Pak, saya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi)."
Setyo tersenyum, tanpa Rizwar memintapun dia akan selalu mendo'akan keluarganya. Bagaimanapun Rizwar juga anaknya meski hanya menantu, Setyo akan selalu mendukung Rizwar, terlebih kini Rizwar memang sudah tidak memiliki orang tua. "Iya War, sudah yang penting usaha dulu."
Percakapan keduanya terus berlanjut, Hamzah memutuskan berhenti menguping, dia urung mendekati kakek dan ayahnya. Padahal Hera tengah menyuruhnya menyerahkan camilan untuk mereka. Pagi ini Rizwar dan Hera datang untuk menjemput Hamzah. Rencananya besok malam mereka akan membawa Hamzah ke Singapura untuk berobat. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi semua orang yang dekat dengannya seolah menyarankan untuk mencoba terlebih dulu.
Tunggu, memang hidup Hamzah adalah ladang percobaan atau bagaimana?
Kalau dia malah semakin parah bagaimana?
Hamzah tersenyum miris, mencoba menepis pikiran buruk yang dia miliki. Setakut itukah dirinya pada kematian hingga tidak mempercayai kinerja tim medis? Dalam satu helaan nafas, Hamzah mencoba menghilangkan kegelisahannya. Bukannya dia sudah memutuskan untuk 'berdamai' jadi sebaiknya dia benar-benar menjalani apa yang sudah dia putuskan.
*
Apapun itu, apapun hasilnya nanti, terima, jalani.
Sedikit demi sedikit Hamzah semakin menerapkan keyakinan itu sejak tadi pagi. Entah sudah berapa kali dia menghela nafas hingga saat ini. Untuk kesekian kali dalam hidupnya dia merasa menjadi seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan. Ruangan di depannya terasa jauh lebih mengerikan dibandingkan ruang Bimbingan Konseling di SMAnya dulu. Ah masa-masa sekolah itu, setahun lalu Hamzah pernah merasa lelah dengan hidupnya dan ingin Tuhan mengambil nyawanya, namun sekarang ketika Tuhan mendekatkannya dengan kematian dia justru ketakutan.
"Za?" panggil Hera pelan.
Hamzah menoleh dan memberikan senyuman pada sang ibu, mengangguk samar seolah mengatakan bahwa dia telah melakukan kesepakatan dengan Tuhan tentang jalan yang akan dia tempuh. Sekali lagi Hamzah memantapkan langkah kakinya.
Kali ini, dia akan berjuang sekali lagi.
*
Bosan.
Gerakan Hamzah terlihat lamban bahkan bagi orang yang memandangnya sekilas. Pemuda itu memakan serealnya dengan malas-malasan. Dia benar-benar tengah dilanda kebosanan. Tidak banyak yang dia lakukan selama empat bulan ini. Kegiatannya hanya pulang pergi antara rumah sakit dan apartemen, melakukan pengobatan-pengobatan yang ditetapkan untuknya. Jangan mengira dia tahu bagaimana kondisi tubuhnya menurut mata tim medis, karena Rizwar dan Hera seolah sepakat untuk merahasiakan hasil terapinya selama ini. Yang membuat Hamzah terkadang mengambil kesimpulan : kondisinya tidak lebih baik. Itu adalah pikiran dan kekhawatirannya sendiri didasarkan pada apa yang dia rasakan akhir-akhir ini. Bagaimanapun, dia yang merasakan jika ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Dia yang merasa bahwa kondisi tubuhnya seolah tidak membaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyangkalan (Complete)
Художественная проза(Ada kalanya saat manusia tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan menyakiti orang lain. Bahkan seringkali mereka akan merasa tersakiti, merasa sebagai sosok paling benar yang sering mendapat perlakuan salah) Sejak pertama kali Hatta memahami a...