2.19 Fakta Kecil Yang Disembunyikan

503 54 2
                                    

Helaan nafas kasar sekali lagi Rizwar keluarkan pagi ini. Dia menatap istrinya yang balik menatapnya tajam.

"Harus minggu depan Ra?" tanya Rizwar seolah mengajak bernegosiasi.

"Aku udah bilang dia," Hera bersikukuh. "Lagian kasusnya udah selesai kan?"

"Udah, tapi beritanya masih sesekali dibahas."

Kini giliran Hera yang menghela nafas, kasus ini sudah bergulir sejak beberapa minggu lalu. Tentang restoran cabang di Medan yang diperkarakan karena terbukti mengandung minyak dan daging babi dalam olahannya. Padahal selama ini mereka tidak menggunakan bahan itu. Itu mungkin bukan masalah besar jika saja restoran mereka tidak mengusung konsep restoran halal sejak awal.

Setelah ditelusuri, baru diketahui bahwa salah satu karyawan senior di sana yang menjadi otak tindakan itu. Rizwar dan Hatta mengurus kejadian itu, bahkan beberapa job Hatta terpaksa melayang karena dia disibukkan dengan kasus ini. Bagi Rizwar sendiri, dia dipusingkan oleh hal ini sekaligus oleh kabar yang dia terima dari Hera tentang kondisi Hamzah yang terus menurun.

"Hatta sehat mas?"

"Hmm?"

"Hatta?"

"Kamu gak pernah telepon dia?"

"Jarang sekarang."

"Hubungi dia Ra, dia anak kamu juga. Anak kandung kamu. Aku seneng kamu peduli sama Hamzah, tapi Hatta juga butuh kamu. Dia baik-baik aja, sehat."

"Sekarang malah kedengerannya aku yang gak adil."

"Bukan gitu, mungkin...kita sama-sama dinilai gak adil sama mereka," Rizwar sempat terdiam sejenak. "Besok aku pulang ke Indonesia duluan, langsung ke tempat Hatta."

"Keputusan kalian jadi gimana?"

"Belum tahu, makanya besok aku kesana. Hatta maunya tutup total restoran itu, tapi kupikir kalo tutup permanen ya jadinya kita kayak ngaku salah."

"Mungkin bisa jadi maunya Hatta itu kita ngalah, hindarin keributan."

"Dia udah ribut sendiri kapan lalu. Hhh, bisa jadi anak kamu itu terlanjur gak enak hati. Apalagi dia kan males ngadepin hal yang gak penting bagi dia, makanya udah gak mau mikirin lagi langsung tutup aja. Padahal ini satu restoran aja duitnya udah berapa, gak ngerti dia kalo ini penting buat papanya."

Hera memukul pelan lengan suaminya, "Anak mas juga, keras kepalanya nurun dari siapa?"

"Kenapa jadi bahas keras kepala?" Rizwar tertawa.

"Terus mas mau lanjut? Pake karyawan-karyawan yang sama?" Hera tidak menanggapi elakan Rizwar.

"Nah itu, mereka udah kerja lama sama kita. Sama-samalah kita balas budi satu sama lain, kalo kejadian kayak gini ya gak tau juga mereka bakal gimana di masa depan. Ngambil orang baru juga resikonya harus ngajarin dari awal. Menurut kamu?"

"Ambil orang baru, ngambil resiko sekalian asal kejadian ini gak keulang di masa depan. Ngambil karyawan dari cabang-cabang lain dulu buat ngajarin. Atau sekalian aja pindahin beberapa karyawan kesana, satu dua orang dari beberapa cabang. Nanti di cabang yang lama ngambil orang baru buat gantiin mereka, biar sama-sama klop."

"Kamu setega itu?"

"Apa?"

"Mecat orang satu restoran?"

"Enggak juga. Soalnya kita gak tahu kan mereka waktu itu sengaja, cuma kepengaruh atau dipaksa. Tapi ya gimana? Buat jaga-jaga mas. Tadi mas kan tanya pendapatku."

"Iya," Rizwar mengusap wajahnya, "Besok coba denger pendapat Hatta gimana, aku sampein pendapat kamu juga."

"Hatta gak nanyain Hamzah?"

Penyangkalan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang