Ada sesuatu yang mengganjal hati Rizwar. Satu perasaan aneh yang dia rasakan semakin menguat begitu membuka pintu kamar rawat Hamzah dan mendapati si bungsu menatapnya sayu pagi itu. Sekilas Rizwar melirik ke arah Hera yang tertidur di sofa -- semalam wanita itu mendadak bersikeras untuk menginap di Rumah Sakit juga -- sebelum melangkah pelan menghampiri ranjang sang putra.
"Masih pagi, tidur lagi," bisik Rizwar, takut Hera akan terbangun jika dia berbicara lebih keras.
"Gak," tolak Hamzah.
Hamzah rasa, dia sudah terlalu sering tidur belakangan. Sampai-sampai merasa bosan dengan hal yang dulu menjadi salah satu hobinya itu. Namun anehnya dia memang seolah tidak memiliki banyak tenaga untuk terus terjaga.
"Papa?" panggil Hamzah, mengeluarkan semua tenaganya untuk bicara lebih keras. Dia sadar, semakin lama dia memang semakin lemah. Untuk tetap terjaga saja susah, apalagi berbicara. Namun kali ini, Hamzah memiliki keinginan kuat untuk berbincang dengan Rizwar.
"Hmm?" Rizwar menyahut dengan gumaman, mengusap lembut puncak kepala Hamzah.
"Aku bikin papa malu ya?"
"Apa?" Rizwar mencoba menajamkan pendengaran. Dia mendengar sebagian besar kalimat Hamzah, namun dia perlu meyakinkan diri, bisa saja pendengarannya salah mengingat suara Hamzah cukup lirih.
Tangan Hamzah bergerak untuk menurunkan masker oksigennya, menghalau tangan Rizwar yang mencoba menghalangi. Hingga Rizwar akhirnya justru membantu melepas masker oksigen itu.
"Dua tahun lalu, papa marah karena aku sakit? Papa kecewa aku malu-maluin keluarga kita?" tanya Hamzah beruntun. Dan setelahnya dia justru terlihat sedikit terengah, membutuhkan asupan oksigen.
Rizwar menghela nafas dalam, mencoba untuk terlihat santai meski sebenarnya dadanya sedikit sesak kala menyadari bahwa putranya itu bahkan tidak mampu lagi bernafas dengan normal tanpa bantuan masker oksigen. Dia mendekatkan masker di tangannya ke hidung dan mulut Hamzah lagi, yang justru membuat si bungsu itu sedikit memalingkan wajah, menolak.
"Pake lagi kalo mau papa jawab," Rizwar mencoba bernegosiasi. Beruntung Hamzah menyetujui, membiarkan sang ayah memasang masker itu kembali padanya. Bagaimanapun, Hamzah sangat ingin mengetahuinya, jawaban pasti dari dugaan dan pertanyaan yang tersimpan dalam hatinya selama dua tahun ini. Satu hal yang akan membuatnya lega saat mendapat jawaban langsung dari yang bersangkutan.
"Gak, papa gak marah. Papa cuma kaget," Rizwar meraih tangan Hamzah, sedikit terkejut mendapati tangan itu mulai mendingin.
Ada rasa lega yang menelusup kedalam batin Hamzah. Rasanya dia ingin tersenyum bahagia. Tapi entah kenapa rasanya dia kembali mulai merasa mengantuk. Matanya mulai terasa berat.
Tidak!
Dia tidak boleh tidur sekarang. Ayahnya belum selesai bicara, Hamzah masih ingin mendengar banyak hal.
"Karena papa gak nyangka semua itu nak," lanjut Rizwar. Sekali lagi merasa jantungnya berdesir halus dan menyakitkan. Ada hal buruk yang akan terjadi. Itu satu keyakinan yang tumbuh dalam hati dan otaknya, sayang dia tidak dapat mengendalikannya. Keyakinan itu tetap menguat meski dia mencoba mengenyahkannya. Kini dia menumpukan tangannya di atas paha Hamzah, diam-diam mengecek suhu tubuh putranya meski gagal karena ada selimut di sana. Rizwar mengerang dalam hati, merutuki selimut tidak bersalah yang menghalangi niatnya. Ada sesuatu yang ingin dia pastikan.
"Papa gak marah," Rizwar mulai sedikit panik, dia ketakutan. Entah kapan dia pernah mengalami ketakutan sebesar ini. Tapi yang jelas, apa yang terjadi kali ini seolah deja vu. Dia ingat saat-saat terakhir mendekati kematian ayahnya dulu, tubuh beliau juga mendingin secara berkala. Rizwar berdiri dan pura-pura membetulkan selimut Hamzah, menyentuh sekilas setiap bagian tubuh Hamzah yang bisa disentuhnya. Dan setelahnya dia kembali terduduk, sedikit lemas saat medapati suhu dingin itu menguasai sebagian besar tubuh bagian bawah Hamzah. Namun Rizwar tetap berusaha menyunggingkan senyum untuk sang putra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyangkalan (Complete)
Ficção Geral(Ada kalanya saat manusia tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan menyakiti orang lain. Bahkan seringkali mereka akan merasa tersakiti, merasa sebagai sosok paling benar yang sering mendapat perlakuan salah) Sejak pertama kali Hatta memahami a...