2.9 Untitled

412 70 16
                                    

Hamzah melengos, menggerutu dalam hati ketika sekali lagi Rizwar berhasil memasukkan bola golf kedalam lubangnya. Mendadak merasa kesal dengan tampang angkuh sang ayah -- yang terlihat mirip sekali dengan Hatta.

"Kamu jalan ya?" goda Rizwar.

"Hmm," Hamzah bergumam.

"Ayo kamu beresin dulu."

Sekali lagi Hamzah menggerutu dalam hati, namun tangannya tetap bergerak membereskan barang bawaan mereka. Kenapa sesi olahraga harus bersama sang ayah? Jelas dia kalah.

Tapi tunggu, memangnya Hamzah bisa menang dalam hal apa? Dibandingkan dengan Hatta saja dia kalah apalagi dengan sang ayah?

Seperti perjanjian awal, jika dia kalah dalam permainan kali ini, Hamzah harus berjalan sejauh yang Rizwar inginkan. Masalahnya Hamzah tidak tahu sampai kapan ayahnya itu akan menyuruhnya berjalan. Kini Hamzah sudah mulai kepayahan, nafasnya tersengal ketika dia harus terus berlari kecil -- benar-benar berlari, bukan hanya berjalan -- di samping mobil golf yang dikemudikan Rizwar. Dalam hati mengutuk ayahnya yang menggodanya dengan kalimat, 'Kamu itu sesekali olahraga biar gak lemes terus'.

Hamzah semakin kelelahan hingga dia memilih berhenti, tidak lagi peduli pada sang ayah. Kepalanya mulai pusing dan nafasnya semakin tersengal. Pemuda itu duduk bersimpuh di tengah jalan, mencoba mengatur pernapasannya. Dia mendongak sebentar untuk menatap mobil Rizwar dan mengumpat ketika melihat mobil itu tetap berjalan. Hamzah kembali menunduk, mengucek matanya yang mendadak berkunang-kunang dan memburam. Sejenak tertegun, tidak menyangka tubuhnya akan selemah ini. Seingatnya dulu saat SMP, beberapa kali saat pelajaran olahraga gurunya meminta dia dan teman sekelasnya lari memutari lapangan sebanyak sepuluh kali. Kalau dipikir-pikir lari yang baru dia lakukan itu sama dengan tujuh putaran yang dia lakukan dulu. Tapi sekarang dia sudah kolaps.

"Za?"

Entah sejak kapan Rizwar sudah berdiri di dekat Hamzah, menyentuh pundak putranya sehingga Hamzah mendongak menatapnya. Rizwar tersentak menyadari wajah Hamzah terlihat lebih pucat dari biasanya, reflek dia menyentuh kening Hamzah yang masih terlihat kesulitan mengatur nafas.

"Kamu sakit?"

'Sakit? Yang bener aja' Hamzah menggerutu dalam hati ketika ayahnya tidak sadar bahwa dia yang telah membuat Hamzah kepayahan seperti ini. Lagipula mana mungkin dia sakit hanya gara-gara berlari.

"Capek pa," lapor Hamzah. Niatnya ingin membuat dirinya terlihat semelas mungkin karena otak liciknya sudah berniat untuk mulai balas dendam pada sang ayah. Tapi dia tidak menyangka sang ayah akan mudah luluh bahkan membantunya berdiri. Hal kedua yang tidak dia sangka adalah hawa dingin yang mendadak menyerang tubuhnya dan pandangannya yang sejenak menggelap saat dia berdiri. Namun dia memutuskan untuk tidak mengeluhkannya ketika sang ayah menuntunnya ke mobil golf yang sudah diparkir di dekat mereka -- rupanya tadi bahkan Hamzah tidak sadar kalau ayahnya memutar balik mobil itu.

*

Belakangan sepertinya kondisi mental Hamzah membaik. Setidaknya sejak dia dinyatakan lulus beberapa bulan lalu, remaja itu terlihat sedikit lebih ceria. Seperti dugaan awal, yang membuat Hamzah tertekan adalah kasusnya dengan Hatta. Dan sekolah adalah satu-satunya tempat dimana dia mendapat perlakuan buruk secara langsung karena hal itu. Secara otomatis sekolah menjadi penyumbang terbesar dalam rasa ketakutan, kekhawatiran dan ketidaknyamanan Hamzah. Aturannya, orang seperti dia harus menjauhi sumber rasa sakitnya, sumber dari tekanan yang dia miliki. Namun saat itu Hera memilih untuk menyemangati putranya daripada menjauhkannya dari sekolah -- meski terkadang Hera merasa bersalah juga karena tidak mengabulkan keinginan Hamzah untuk homeschooling. Kini setelah dia dinyatakan lulus, jelas sekali Hamzah terlihat lebih santai dari sebelumnya. Walaupun di mata Rizwar dan Hera, Hamzah tetap terlihat beberapa kali tertekan dengan dugaan masih memikirkan hubungannya dengan Hatta dan perkataan buruk orang tentangnya -- di media sosial tentu saja -- setidaknya Hamzah tetap bersikap waras sehingga mereka tidak perlu lagi meminta bantuan psikolog.

Penyangkalan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang